Kota Purwakarta memiliki sejarah yang sangat panjang. Berdasarkan sumber otentik berupa besluit (keputusan), Purwakarta diresmikan tanggal 20 Juli 1831. Berarti sampai saat ini itu telah berusia lebih dari satu abad. Dalam perjalanan sejarahnya, Purwakarta memiliki status dan fungsi sebagai pusat pemerintahan kabupaten. Semula sebagai ibukota Kabupaten Karawang (1831-1950), kemudian menjadi ibukota Kabupaten Purwakarta (1968- sekarang).
Sejalan dengan fungsi utamanya itu, sejak awal keberadaannya di Purwakarta dibangun sarana dan fasilitas, baik untuk kepentingan jalannya pemerintahan maupun untuk kehidupan sosial budaya. Sarana dan fasilitas dimaksud terutama adalah Bumi Ageung, Pendopo, Situ Buleud, Masjid Agung dibangun oleh pihak pemerintah pribumi, dan Gedung Keresidenan, Gedung Kembar, Stasion Kereta Api dibangun oleh pihak pemerintah kolonial. Bangunan-bangunan yang didirikan oleh pihak kolonial itu, sekarang sudah menjadi milik Pemerintah Kabupaten Purwakarta.
Gedung Negara
Gedung Negara yang dibangun semasa zaman kolonial Belanda tahun 1854 dengan gaya arsitektur Eropa, kini berdiri megah sebagai Kantor Bupati Kabupaten Purwakarta, tepatnya di Jalan Gandanegara No. 25. Disamping gedung ini arsitekturnya antik, juga memiliki nilai sejarah perjuangan bagi masyarakat Purwakarta, baik di masa Pemerintahan kolonial Belanda maupun Pemerintahan Jepang.
Bumi Ageung Purwakarta
Bumi Ageung, tempat tinggal sementara Bupati R.A. Suriawinata beserta keluarga (https://roedi-hartono.blogspot.com)
Bumi Ageung Purwakarta terletak di jalan Siliwangi, Kampung Langensari, Desa Nagri Kidul, Kecamatan Purwakarta.
Bumi Ageung dibangun dalam proses perpindahan ibu kota Kabupaten Karawang dari Wanayasa ke Sindangkasih (Purwakarta). Dapat dipastikan bangunan itu didirikan oleh penduduk Distrik Sindangkasih atas perintah Bupati Karawang, R.A. Suriawinata (Dalem Solawat). Bangunan itu didirikan setelah bupati menetapkan sebagian lahan Sindangkasih akan dibangun menjadi ibukota baru Kabupaten Karawang (paruh pertama tahun 1830).
Selama kota Purwakarta dan pendopo dibangun, Bupati R.A. Suriawinata beserta keluarga tinggal di Bumi Ageung yang difungsikan sebagai pendopo sementara. Bangunan itu sampai sekarang masih berdiri. Mengapa bangunan itu disebut Bumi Ageung, belum diperoleh informasi yang akurat. Boleh jadi karena bangunan itu “walaupun untuk sementara waktu” digunakan sebagai tempat tinggal sekaligus kantor bupati. Berapa lama Bumi Ageung berfungsi sebagai pendopo sementara, belum diketahui. Mungkin tidak ada dokumen yang mencatat tentang hal itu.
Setelah kota Purwakarta diresmikan dan pendopo selesai dibangun, Bupati R.A. Suriawinata beserta keluarga pindah ke pendopo. Namun sangat disayangkan, sumber yang menyatakan kapan tepatnya pendopo selesai dibangun, belum ditemukan, bahkan mungkin tidak ada.
Pendopo Kabupaten Purwakarta
Pendopo Kabupaten Purwakarta jaman kolonial Belanda (https://www.kaskus.co.id)
Pendopo ini terletak di jalan Gandanagara, Kampung Kaum, Desa Cipaisan, Kecamatan Purwakarta, koordinat GPS: 6° 33' 24" S, 107° 26' 32" E.
Poendopo Kabupaten Purwakarta (https://roedi-hartono.blogspot.com)
Bangunan ini dibangun secara permanen berlanggam Indische Empire Stijl yang cantik dan anggun dipadu dengan ornamen Sunda. Adapun fungsi pendopo di jaman dulu, selain sebagai kantor pemerintahan, juga berfungsi sebagai tempat tinggal bupati. Renovasi pendopo diperkirakan pada tahun 1854 atau 1856, dengan perubahan atap bangunan yang diganti dengan genteng dan lantai berupa bangunan ditembok. Badan bangunan tetap mempertahankan arsitektur tradisional. Bagi Anda pencinta wisata sejarah dan arsitektur, Anda wajib untuk berkunjung ke pendopo ini.
Gedung Karesidenan Purwakarta
Gedung Karesidenan Purwakarta jaman kolonial Belanda (https://www.kaskus.co.id)
Gedung Karesidenan terletak di jalan K.K. Singawinata, Kampus Ceplak, Desa Nagri Kidul, Kecamatan Purwakarta, koordinat GPS : 06° 33' 543" S, 107° 26' 803" E.
Pembangunan Gedung Karesidenan berkaitan erat dengan status Purwakarta sebagai ibukota Karesidenan Karawang. Pada awal masa pemerintahan Bupati Sastra Adiningrat I (tahun 1854), Purwakarta menjadi ibukota Keresidenan Karawang. Akan tetapi, untuk beberapa waktu lamanya, residen Karawang tetap berkedudukan di kota Karawang. Dalam waktu tertentu ia datang ke Purwakarta. Hal itu disebabkan di kota Purwakarta belum dibangun gedung keresidenan dan belum ada sarana transportasi yang memadai. Kedudukan kota Purwakarta sebagai pusat pemerintahan keresidenan, telah menimbulkan perubahan situasi kota tersebut. Sejak waktu itu dinamika kehidupan di kota Purwakarta makin mengarah pada kehidupan modern.
Gedung Karesidenan di Purwakarta baru dibangun seiring dengan pembangunan jalan kereta api antara Batavia – Padalarang lewat Purwakarta pada awal abad ke-20. Jalur kereta api Karawang – Purwakarta (41 kilometer) diresmikan tanggal 27 Desember 1902. Jalur itu sampai di Padalarang tahun 1906. Dengan demikian, gedung keresidenan di Purwakarta mungkin dibangun sekitar tahun 1902.
Setelah gedung karesidenan selesai dibangun dan transportasi kereta api Batavia – Padalarang lewat Purwakarta dibuka, residen Karawang pindah dari Karawang ke Purwakarta. Keberadaan gedung keresidenan dengan arsitektur modern, mengubah suasana kota mengarah ke kota modern. Pada zaman Pendudukan Jepang, gedung tersebut menjadi Honbu Kenpeitai (Markas Polisi) Jepang, bagian dari pasukan Detasemen Syoji. Rupanya pihak Jepang memahami arti penting Purwakarta bagi mereka. Sejak waktu itu situasi dan kondisi di Purwakarta tentu mengalami perubahan, baik dalam bidang pemerintahan maupun dalam bidang sosial ekonomi. Pada zaman revolusi kemerdekaan, Gedung Keresidenan difungsikan sebagai Markas Resimen V pimpinan Letnan Kolonel Sumarna.
Gedung Karesidenan Purwakarta (https://www.kaskus.co.id)
Gedung Karesidenan menempati lahan yang cukup luas. Bangunan utama berada di tengah halaman. Di depan bangunan utama terdapat taman, demikian juga di samping kiri dan kanan. Arsitektur gedung utama berlanggam Indische Empire Stijl. Bentuk dan gaya bangunan itu mirip dengan Gedung Pakuan (bekas Gedung Keresidenan Priangan) di kota Bandung. Lantai bangunan ditinggikan sekitar 0,5 m dari halaman. Untuk memasuki bangunan utama terdapat dua jalan berupa tangga yang terdapat di bagian tengah. Ruangan yang berada paling depan merupakan serambi terbuka beratap seperti kanopi dari bahan seng.
Tiang penyangga atap serambi berbentuk segi delapan dengan gaya khas kolonial dari bahan kayu. Pembatas serambi depan bagian bawah merupakan semacam pagar kayu bermotif trawangan. Pada bagian serambi depan ini terdapat dua kamar yang berada di ujung kanan dan kiri. Pintu masuk kamar berhadap-hadapan pada sisi dalam. Jendela kamar berdaun ganda. Daun jendela bagian luar merupakan jendela kayu disusun bersap-sap (jalusi) dan bagian dalam jendela kaca. Serambi dan ruang dalam dihubungkan oleh pintu depan yang bentuknya seperti pintu kamar. Atap bangunan utama dari bahan genteng berbentuk persegi. Antara atap bangunan utama dan atap serambi terdapat lubang ventilasi yang ditutup dengan ukiran kayu trawangan bermotif bintang atau bunga bersudut. Hiasan seperti ini juga terdapat pada bagian samping.
Di kanan dan kiri bangunan utama terdapat bangunan semacam paviliun beratap rumah kampung memanjang ke belakang. Antara pavilyun dan bangunan induk dihubungkan melalui koridor terbuka (doorloop). Sekarang gedung Karesidenan difungsikan untuk kantor Badan Koordinasi Wilayah Purwakarta.
Keletakan Gedung Karesidenan di jantung kota Purwakarta menjadikan gedung ini sangat strategis. Artinya masyarakat baik lokal maupun pendatang akan mudah menganal sejarah Purwakarta. Tetap dipertahankannya baik arsitektur maupun fungsi menjadikan gedung ini sebagai sarana untuk lebih memahami Purwakarta khususnya dari aspek sejarah sosial politik dan sejarah arsitektur khususnya.
Gedung Kembar
Gedung Kembar jaman kolonial Belanda (https://www.panoramio.com)
Gedung Kembar terletak di jalan K.K. Singawinata, Kampus Ceplak, Desa Nagri Kidul, Kecamatan Purwakarta, koordinat GPS : 6° 33' 13" S, 107° 26' 45" E.
Gedung Kembar (https://geolocation.ws)
Kesederhanaan gedung bergaya arsitektur Eropa ini tetap akan memesona siapa pun yang melihatnya, termasuk Anda. Dalam nuansanya yang megah sekaligus anggung, Gedung Kembar digunakan sebagai markas BKR (Barisan Keamanan Rakyat) pada masa revolusi kemerdekaan.
Gedung Kembar (https://pnpmmpdpurwakarta.blogspot.com)
Sesuai dengan namanya, Gedung Kembar merupakan dua buah bangunan dengan bentuk yang sama dan terletak berdampingan. Diduga kedua bangunan itu didirikan pada paruh kedua abad ke-19 M, setelah Kota Purwakarta ditetapkan sebagai ibukota Karesidenan Karawang (sejak 1854).
Stasiun Kereta Api Purwakarta
Stasiun Kereta Api Purwakarta jaman kolonial Belanda (https://www.kaskus.co.id)
Stasiun ini terletak di Jl. K.K. Singawinata, Kampus Ceplak, Desa Nagri Kidul, Kecamatan Purwakarta, koordinat : 6° 33' 9" S, 107° 26' 46" E.
Stasiun Kereta Api Purwakarta (https://www.kaskus.co.id)
Salah satu bangunan pusaka lainnya di Purwakarta yang bisa Anda kunjungi dan lihat dari dekat adalah stasiun kereta api, yang dibangun secara bertahap pada masa kolonial Belanda antara tahun 1881-1884 dan diresmikan pada tanggal 27 Desember 1902. Bangunan ini memiliki arsitektur yang khas sesuai dengan fungsinya. Sampai saat ini, bangunan ini tidak mengalami perubahan. Jika Anda berkesempatan mengunjungi stasiun ini, jangan lupa untuk membawa kamera karena ada beberapa sudut yang bagus untuk fotografi. Atau bila tersedia waktu lebih banyak, buatlah tur stasiun kereta api dengan memasukkan unsur Stasiun KA Purwakarta sebelum melanjutkan ke daerah sebelum Bandung yang memiliki panorama menakjubkan.
Rumah Adat Citalang
Rumah Adat Citalang (https://roedi-hartono.blogspot.com)
Rumah Adat Citalang merupakan salah satu contoh bentuk rumah tradisional masyarakat Purwakarta. Rumah yang masih dipertahankan keasliannya ini berada di Gang Patinggi III, Kampung Karangsari, Desa Citalang, Kecamatan Purwakarta tepatnya pada posisi koordinat 06° 32' 371" Lintang Selatan dan 107° 27' 822" Bujur Timur. Lingkungan sekitar rumah adat Citalang berupa perkampungan yang tidak begitu padat. Keletakan rumah berada pada lahan di sebelah selatan jalan kampung. Meskipun statusnya sebagai jalan kampung, namun jalan ini sudah diaspal lumayan bagus. Di kanan dan kiri pekarangan rumah berupa pekarangan rumah masyarakat sedangkan di depan dan belakang berupa kebun.
Bangunan rumah berada tepat di tengah lahan pekarangan yang luasnya 1.350 m2. Sisi depan pekarangan (utara) berpagar besi, sedang tiga sisi lainnya berpagar tanaman. Gerbang masuk tepat berada di tengah-tengah sisi utara. Posisi demikian ini lurus dengan pintu rumah. Halaman sekeliling rumah dimanfaatkan untuk kebun. Bangunan rumah merupakan berkolong atau rumah panggung setinggi sekitar 0,8 m berdenah empat persegi panjang berukuran 10 x 15 m. Batu tatapakan yang berfungsi menopang rumah berjumlah 28. Lantai dibuat dari bahan bambu yang dijalin (bilik). Atap rumah berbentuk limas memanjang ke belakang dari bahan genting. Tangga untuk memasuki rumah merupakan tangga tembok bata terdiri tiga undakan. Ruangan paling depan merupakan serambi terbuka.
Pada sudut timur laut serambi menghadap ke luar terdapat papan nama bertuliskan ”CAGAR BUDAYA BANGUNAN DAN BENDA KUNA KAMPUNG KARANGSARI DESA CITALANG PURWAKARTA”. Sisi depan bagian kanan dan kiri serambi berpagar bilik bambu. Pagar demikian juga terdapat di kedua sisi samping. Tinggi pagar serambi ini sekitar 0,7 m. Atap serambi disangga delapan tiang bersap dua baris masing-masing empat tiang. Bentuk tiang persegi bercat warna hijau. Pada dua tiang yang berada di bagian dalam terdapat hiasan tanduk rusa dengan tiruan kepala rusa. Lantai serambi dan juga seluruh rumah dari bahan anyaman bambu. Pintu masuk utama hanya satu berada di tengah, dengan dua daun pintu. Di kanan kiri pintu masuk terdapat jendela yang bentuknya sama dengan pintu. Ruang dalam merupakan ruangan luas. Kamar hanya dijumpai di sisi barat bagian tengah. Pada sisi timur terdapat tiga jendela. Jendela di sisi barat terdapat di bagian kamar dan kiri kanan kamar. Di bagian belakang terdapat serambi belakang.
Rumah Adat Citalang adalah peninggalan dari Rd. Mas Sumadireja yang dibangun ± 1905, dirancang oleh M. Nata Wireja (Amil Desa Citalang) dan M. Ruki (Sesepuh Kampung Palumbungan) dengan menggunakan peralatan yang sederhana. Rumah tersebut dibangun untuk rumah tempat tinggal. Pada saat dibangun Rd. Mas Sumadireja menjabat sebagai Kepala Desa Citalang III atau dengan sebutan Patinggi III. Rd. Mas Sumadireja adalah putra dari Bupati Brebes (Jawa Tengah) yang ditugaskan untuk berjuang mengusir penjajah ke Batavia (Jakarta) bersama 3 orang saudaranya dan masing-masing membawa prajuritnya.
Akibat dari pertempuran dan ketidakseimbangan kekuatan dengan pasukan Belanda, maka beliau terdesak dan mundur. Beberapi kali beliau berpindah daerah dalam menghindari desakan dari pasukan Belanda, mulai dari Karawang, Purwakarta, Citalang Plered hingga yang terakhir beliau tinggal di Desa Citalang Purwakarta. Beliau menetap di Desa Citalang Purwakarta hingga akhir hayatnya pada tahun 1921. Rd. Mas Sumadireja meninggal dunia dan dimakamkan di Pemakaman Pasir Kerabau Citalang. Rumah adat Citalang sekarang ini merupakan milik keluarga Bapa Endang Anali.
Objek ini sangat layak untuk dijadikan salah satu tujuan wisata di Purwakarta. Kesederhanaan, keuletan, dan kegigihan Rd. Mas Sumadireja tercermin dari kondisi rumah adat tersebut. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa dari rumah adat ini dapat diperoleh pelajaran tentang bangunan dari bahan yang tidak tahan lama.
Sumber: Disparbud Prop Jawa Barat
Posting Komentar