Ilustrasi
Permainan ini dapat dijumpai di Nanggroe Aceh Darussalam, terutama pada kelompok etnis Aceh dan kelompok etnis Aneuk Jame yang berlokasi dibagian Kabupaten Aceh Selatan. Jadi, lokasi/tempat permainan ini dijumpai selain di bagian pesisir Aceh (pesisir Utara dan pesisir Timur) juga di pesisir bagian Barat (termasuk Kabupaten Aceh Selatan sekarang), yang masing-masing didiami sebagian kelompok etnis Aceh dan kelompok etnis Aneuk Jame.
Dilihat dari segi nama, permainan ini menunjukkan keanehannya Kapai-kapai Inggreh dalam Bahasa Indonesia artinya Kapal-kapal Inggris. Adegan yang dimaksud adalah seperangkat tanya jawab antara para pemain. Adapun pertanyaan dan jawaban yang harus dilontarkan dalam permainan tersebut adalah sebagai berikut :
Tanya: Peu kapai nyo? (Kapal apa ini?)
Jawab: Kapai Inggreh. (Kapal Inggris)
Tanya: Pei ji peuding? (Apa muatannya?)
Jawab: Ate tapeh. (Hati Sabut Kelapa.)
Sejarah
Latar Belakang Sejarah Perkembangan Permainan. Seperti telah diketahui, bahwa asal nama permainan ini tim peneliti belum menemukan data-data yang kongkrit, begitu pula dengan sejarah perkembangan permainan ini dari masa ke masa belum dapat dipastikan. Namun, menurut tradisi lisan, permainan ini sudah cukup lama dikenal dan cukup popuier dalam masyarakat Aceh, sehingga para orang tua di kampung-kampung umumnya masih dapat mengucapkan kata-kata tanya jawab dalam adegan permainan tersebut. Karena disebut-sebut nama Inggris, permainan ini dikenal di Aceh sejak rakyat Aceh berkenalan dengan bangsa Inggris. Kontak pertama antara Inggris dengan Aceh terjadi pada permulaan abad XVII dengan datangnya dua buah kapai Inggris ke Kerajaan Aceh pada tahun 1602.
Pemain
Jumlah pemain untuk permainan ini berkisar antara 5 sampai 6 orang, dan umumnya berumur antara 8 sampai 12 tahun. Permainan dapat dilakukan baik oleh anak laki-laki maupun anak wanita, tetapi jarang terjadi percampuran antara anak-anak laki dengan wanita. Seperti telah disebutkan di atas, umumnya para pemain ini terdiri atas anak-anak petani, tetapi pada bulan puasa (Ramadan) anak-anak dari kelompok sosial lainnya, misal kelompok pedagang, pegawai, dan sebagainya ikut bermain juga. Jadi, dilihat dari segi pelapisan sosial permainan ini tidak hanya dilakukan oleh anak-anak kelompok rakyat biasa saja, tetapi juga dilakukan oleh anak-anak bangsawan, terutama pada bulan puasa (Ramadan).
Perlengkapan Permainan
Satu-satunya alat yang digunakan untuk permainan ini adalah kain sarung atau sejenisnya, yang besarnya dapat menutupi tubuh salah seorang pemain bila berjongkok. Kain ini tidak tipis, tetapi tebal yang tidak tembus bila digunakan untuk melihat. Selain kain, tidak ada alat lainnya yang digunakan dalam permainan ini. Namun, untuk tempat berlangsungnya permainan, masih diperlukan suatu tempat yang agak luas, biasanya berlangsung di depan-depan Meunasah atau di halaman-halaman rumah.
Jalannya Permainan
Seperti telah disebutkan di atas, permainan terdiri atas 5 atau 6 orang. Setelah jumlah peserta (5 atau 6 orang), maka dicari suatu tempat atau tanah yang agak lapang atau berumput (yang sedikit bersih). Setelah semuanya berkumpul dan kain untuk dipakai sebagai penutup telah tersedia (biasanya kain dari salah seorang pemain yang dianggap memenuhi syarat), maka dilakukanlah pemilihan seorang juri di antara mereka untuk menjadi wasit/juri atau sebagai pengamat/pengawas permainan. Selanjutnya melalui suatu undian yang disaksikan oleh juri (undian dengan tangan atau yang dikenal dengan nama ngasut), maka ditetapkan salah seorang diantara pemain untuk menebak siapa orang yang pertama ditutup dengan kain oleh wasit/juri.
Si penebak pertama ini menyingkir dulu, kemudian setelah juri selesai menutup orang yang akan ditebak dengan kain, baru si penebak dipanggil. Orang yang ditebak (yang ditutup dengan kain) sikapnya setengah berjongkok. Si penebak yang ditebak tidak boleh mengajukan pertanyaan dan jawaban yang menyimpang dari yang telah ditetapkan. Pertanyaan tersebut adalah seperti yang telah dikemukakan di atas, yaitu menanyakan kepada orang yang jongkok: peu kapai nyo? Jawab: kapai Inggreh, kemudian dilanjutkan bertanya peu ji peuding? Jawabnya ate tapeh. Adapun jawaban yang diberikan dengan suara yang kecil saja, sehingga susah ditebak siapa yang berada di bawah kain itu. Jika belum dapat ditebak atau belum jelas siapa orang itu dapat dilanjutkan dengan satu pertanyaan lagi, yaitu dengan menyuruh yang ditebak itu bersuara seperti suara ayam. Kata-kata untuk ini, yaitu cuba kuuk sigo? Artinya coba berkokok sekali? Kemudian yang ditebak bersuara seperti suara ayam kekuruyuk. Dan jika belum juga dapat ditebak, makai jolen juri diizinkan memegang tempat-tempat tertentu, yaitu kuping, kepala, dan hidung. Setelah selesai, juri menanyakan siapa orang yang ditutup itu. Jika masih juga tidak diketahui, maka si penebak dianggap kalah. Dan permainan ini dilanjutkan dengan mengulangi undian seperti semula. Akan tetapi, jika tebakannya tepat, yang menebak keluar sebagai pemenang, dan yang kalah mendapat giliran untuk menebak.
Waktu Pelaksanaan
Umumnya permainan ini dilakukan pada malam hari pada saat bulan purnama, antara pukul 9 sampai pukul 10 malam, bahkan pada saat-saat tertentu atau pada malam-malam libur (malam Minggu atau malam hari besar lainnya) dilakukan hingga pukul 11 malam. Bila bulan puasa (Ramadhan) dilakukan tidak hanya pada saat bulan purnama, tetapi setiap malam antara pukul 9 sampai pukul 11 malam. Biasanya jika bulan pumama serta cuaca tidak mendung, para orang tua si anak khususnya orang tua perempuan (Ibu) ke luar rumah untuk menumbuk padi, dilakukan baik di bawah rumah maupun di tempat-tempat lain yang khusus untuk itu di dekat rumah, bersama-sama para tetangga yang juga melakukan pekerjaan serupa. Pada saat inilah anak-anak (setelah mereka pada malam yang sama selesai mengaji di Meunasah atau di rumah-rumah Teungku tempat pengajian) gunakan untuk melakukan permainan ini.
Manfaat
Permainan ini untuk melatih pendengaran para pemainnya. Mereka harus dapat membedakan dan menentukan pelbagai suara termasuk suara orang. Karena itu, permainan ini selain bersifat rekreatif juga bersifat edukatif, yaitu melatih pendengaran. Seperti telah disebutkan bahwa permainan ini dilakukan pada malam hari, pada saat orang tua mereka (Ibu) melakukan pekerjaan menumbuk padi. Hal ini banyak membawa pengaruh bagi anak-anak yang melakukan permainan tersebut, yaitu mereka mengerti akan pekerjaan Ibu-ibu mereka.
Posting Komentar