“Bu, aku pergi berburu dulu. Siapa tahu hari ini aku mendapat rusa untuk makanan anak-anak kita,” kata seorang pria pada istrinya. Istrinya mengangguk. “Berhati-hatilah, jangan sampai terluka,” jawabnya.
Keluarga itu tinggal di sebuah desa di Tanah Gayo, Aceh. Mereka dikaruniai dua anak yang masih kecil. Mereka amat miskin, sehingga kadang dalam sehari mereka tak bisa makan dengan layak. Untuk persediaan makan, kadang sang Ayah menangkap belalang yang banyak berkeliaran di kebun. Belalang itu lalu disimpan dalam lumbung, bersama persediaan padi mereka. Sang Ayah selalu mengingatkan istrinya untuk selalu menutup pintu lumbung. Jangan sampai belalang-belalang yang ia kumpulkan dengan susah payah itu terbang keluar.
Setelah sang Ayah pergi, si Ibu pun bermain-main dengan kedua anaknya. Anaknya yang sulung sudah agak besar, sedangkan yang kecil masih belajar berjalan. Hari semakin siang, tapi Ayah tak kunjung pulang. “Bu… aku lapar,” rengek si Sulung. “Tunggulah sebentar lagi, Nak. Ayahmu akan segera pulang membawa daging rusa. Kita bisa makan sepuasnya.” jawab Ibu. Si Sulung pun diam. Dalam hati ia berharap, semoga perkataan ibunya benar.
Namun setelah lama menunggu, Ayah tak kunjung pulang. Si Sulung merengek lagi, “Bu… aku benar-benar lapar. Gorengkan saja beberapa belalang untukku.” Ibu menuruti permintaan anaknya itu. Ia sudah hampir beranjak ke lumbung untuk mengambil belalang, tiba-tiba si Bungsu menangis. Rupanya si Bungsu ingin menyusu.
Sambil memangku anak bungsunya, Ibu berkata pada si Sulung, “Ambillah beberapa belalang agar Ibu goreng. Jangan lupa untuk menutup pintu lumbungnya, ya.” Si Sulung segera menuju lumbung. Kriiettt…. suara pintu lumbung dibuka. Dengan hati-hati ia melangkah dan mulai mencari belalang yang bersembunyi.
“Aha… itu mereka,” teriaknya ketika melihat beberapa belalang be terbangan.
“Hap… hap… hap…” dengan sigap si Sulung berusaha menangkap belalang itu. Namun aneh, beberapa saat kemudian, belalang-belalang itu sudah tak tampak lagi. Si Sulung heran, kemana belalang-belalang itu? Bukankah tadi mereka masih terbang di sini?
Jantung si Sulung berdegup kencang. Pintu lumbung terbuka lebar! Ia lupa menutup pintu. “Aduh… mengapa aku begitu bodoh? Sekarang belalangnya kabur semua, Ayah dan Ibu pasti akan memarahiku.” Si Sulung terduduk lemas. Ia tak berani pulang ke rumah.
Di rumah, Ibu menunggu si Sulung. “Mengapa lama sekali? Ada apa dengannya?” tanya Ibu dalam hati. Ibu kemudian menyusul ke lumbung. Dilihatnya pintu lumbung terbuka dan tampak si Sulung sedang duduk menangis.”Ada apa, Nak?Apa yang terjadi?” tanya ibunya cemas. “Belalang-belalang kita terbang keluar semua, Bu. Aku lupa menutup pintunya,” jawab si Sulung sambil terus terisak.
Ibunya menghela napas. Suaminya pasti akan marah besar mengetahui hal ini. Namun semuanya sudah terjadi. Waktu tak bisa diputar kembali. “Sudah… sudah… ayo kita pulang. Biar Ibu yang menjelaskan pada Ayah.”
Sesampainya di rumah, Ibu menyuruh si Sulung untuk makan. Hanya nasi saja, tanpa lauk pauk. Sambil memandangi kedua anaknya ia terus berpikir, apa yang akan ia katakan pada suaminya. Sore harinnya Sang suami pulang dengan wajah lesu. Ia tak membawa sedikit pun hasil buruan. Sambil menyeka keringat Ayah berkata, “Hari ini kita tidak beruntung Bu. Aku tidak mendapatkan apa-apa. Jangankan rusa, tikus pun tak terlihat olehku.”
“Lagi-lagi hari ini kita harus makan belalang,” gumam si Agah. Ibu dan si Sulung saling berpandangan. Dengan berhati-hati si Ibu berkata, “Maafkan aku, Yah. Tadi waktu mengambil beras di lumbung, aku lupa menutup pintunya. Semua belalang itu kabur, jadi aku tak bisa memasaknya. Hari ini kita hanya bisa makan nasi tanpa lauk.” Ya, Ibu berbohong untuk menutupi kesalahan si Sulung. Ia tak ingin suaminga memarahi anaknya.
Mendengar hal itu, Ayah langsung naik pitam. “Apa? Bukankah sudah seribu kali kukatakan jangan lupa menutup pintu lumbung?” teriaknya.
“Benar Yah, tapi aku benar-benar lupa. Maafkan aku,” kata Ibu lagi.
“Maaf? Seharian aku mencari makanan untuk keluarga kita, dan kau bahkan tak bisa menjaga belalang-belalang itu.” Tiba-tiba Ayah berdiri dan masuk ke kamar. Ia mengeluarkan semua baju dan kain Ibu. “Keluar kau dari rumah ini. Aku tak sudi punya istri yang tak bisa menjaga kepercayaanku!” usirnya.
Si sulung terkejut. Ibu pun terkejut. “Mengapa Ayah tega mengusir Ibu? Ibu kan sudah minta maaf?” tanya si Sulung sambil menangis. “Tak usah membela ibumu, Nak. Dia tidak layak menjadi ibumu.” jawab Agah. Hati perempuan itu sangat sakit mendengar kata-kata suaminya. Ia tak menyangka suaminya akan mengusirnya begitu saja. Namun ia tahu benar tabiat suaminya. Jika suaminya sudah berkata begitu, maka itulah yang harus terjadi.
Sambil memunguti baju dan kainnya, si Ibu pamit pada kedua anaknya. “Maafkan Ibu, Nak. Ibu harus keluar dari rumah ini. Jaga diri kalian, ya?” katanya sambil mencium kedua buah hatinya. Ia berjalan tak tentu arah dan akhirnya tiba di depan sebuah batu besar yang dikenal dengan nama Atu Belah. Atu Belah adalah batu yang bisa terbelah dan menelan orang yang mendekatinya dalam keadaan sedih. Batu ini tidak menyukai orang yang bersedih. Sayangnya, si Ibu tidak mengetahui hal tersebut. Ia malah duduk di depan batu itu sambil meratapi nasibnya.
Tiba-tiba, Bumi bergetar. Batu besar itu bergerak-gerak, kemudian kraakk… batu itu terbelah dua. Tanpa sempat menyadari apa yang terjadi, si Ibu sudah tertelan oleh si Atu Belah.
“Ibuu… jangan tinggalkan kami… kembalilah Bu…” tiba-tiba terdengar teriakan si Sulung. Rupanya, diam-diam ia dan adiknya mengikuti Ibu. Tapi mereka terlambat, ibu mereka sudah ditelan Atu Belah.
Si Sulung menangis dan menyesali kecerobohannya. Ia merasa bersalah telah menyebabkan ibunya bernasib demikian. Sambil menggendong adiknya, ia mendekati Atu Belah itu. Ia mengusap-usapnya dan berkata, “Semoga Ibu bahagia… aku sungguh menyesal telah menyusahkan Ibu. Doakan kami, supaya bisa bertahan tanpa Ibu.”
Tiba-tiba dari dalam batu muncullah beberapa helai rambut Ibu. Si Sulung yakin, Ibu sengaja memberikan rambutnya untuk melindungi anak- anaknya. Si Sulung memetik tujuh lembar rambut ibunya dan menjadikannya jimat. Jimat itu ia gunakan untuk melindungi dirinya dan adiknya dari segala bahaya. “Selamat tinggal, Ibu….”
Pesan moral
Dengarkan nasihat kedua orangtua. Jika kamu berbuat salah, segeralah meminta maaf pada mereka. Kasih ibu sepanjang masa, ia pasti mengampuni kesalahan kita. Berlaku sebaliknya ketika kita melihat kesalahan orang lain, berjiwa besarlah untuk memaafkan.
Sumber: Dongengceritarakyat
Posting Komentar