Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Batik Cikadu Tanjung Lesung



Batik Cikadu Tanjung Lesung - Kalau ngomongin batik tidak akan pernah ada habisnya, mulai dari berbagai motif, daerah penghasil, sampai harga yang tergolong sangat terjangkau oleh setiap kalangan. Sejak di akui sebagai warisan budaya dunia milik Indonesia, batik sekarang ini banyak sekali bermunculan motif-motif baru yang menambah pula daerah-daerah baru penghasil batik tersebut.
Mungkin biasanya yang kalian tahu daerah penghasil batik yaitu Solo, Yogyakarta, Pekalongan, Cirebon atau daerah-daerah lainnya di indonesia. Saat ini ada daerah baru yang menghasilkan batik yang tidak kalah bagus dan unik dengan daerah-daerah yang sudah disebutkan tadi, daerah tersebut terdapat di bagian barat pulau Jawa, yaitu dari Pandeglang lebih tepatnya di Kampung Cikadu, Desa Tanjungjaya, Kecamatan Panimbang, Kabupaten Pandeglang Banten.
Batik Cikadu Tanjung Lesung adalah sebuah motif batik baru yang dihasilkan oleh sebuah sanggar yang pertama kali digagas oleh Bapak Toto Rusmaya. Bersama warga masyarakat setempat, akhirnya berhasil menghasilkan motif-motif baru yang indah dan unik pun bisa kita lihat sekarang.
Seperti motif batik lainnya, Motif Batik Cikadu Tanjung Lesung sangat beragam, di sanggar ini memiliki 40 motif yang menggangkat ke khasaan daerah tersebut mencerminkan kehidupan warganya dan di dituangkan lewat motif-motif Batik Cikadu Tanjung Lesung yang sangat indah seperti Badak bercula satu, debus, gunung krakatau, ikan lele, rumah adat, lesung padi, dan masih banyak lagi.
Mesti belum secara spesifik setiap motif batik mempunyai nama, namun batik Cikadu Tanjung Lesung sudah cukup banyak diminati oleh pecinta batik, tidak hanya pecinta di Banten saja tapi juga seluruh Indonesia. Terbukti Motif Batik Cikadu Tanjung Lesung sudah dipakai oleh para desainer-desainer Indonesia untuk menjadikan Motif Batik Cikadu Tanjung Lesung sebagai bahan desain rancangannya untuk pagelaran Fashion Show. Dan tidak hanya itu, di salah satu kontes pageant pria bertaraf dunia yang diadakan di Indonesia pun menggunakan Batik Cikadu Tanjung Lesung untuk salah satu pemotretan profil para kontestannya.
Dengan adanya  Batik Motif Cikadu Tanjung Lesung ini kita patut berbangga, karena ada lagi karya anak bangsa yang ingin ikut melestarikan kebudayaan Indonesia lewat sebuah kain yang memang sudah di akui UNESCO sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi yaitu batik, dan dengan motif batikini juga menambah lagi keberagaman motif-motif batik yang Indonesia miliki.
Berikut adalah beberapa Motif Batik Cikadu Tanjung Lesung :





Dan berikut Batik Cikadu Tanjung Lesung dalam kontes pageant pria.

Disewakan Ruko Dua Lantai di Jalan Kesehatan B. 52 Sendowo Yogyakarta


Disewakan Ruko dua lantai di Jl. Kesehatan B. 52, Sendowo Yogyakarta. Disebelah kanannya Toko Laborat, menyediakan berbagai kebutuhan Laboratorium.

Ruko ini sangat strategis di tepi jalan Kesehatan, di daerah Kampus UGM Sekip, merupakan lingkungan Kos-Kosan Mahasiswa/wi UGM dan sekitar lebih kurang 600 meter terdapat RS. Sarjito.

Di sepanjang jalan Kesehatan, terdapat Toko Bali, Toko Laborat, Toko Mini Market, dua Photo Copy, Apotik dan beberapa Rumah Makan dan Lapak Buah.

Yang belum ada di sepanjang Jalan Kesehatan, yaitu Salon, Babershop, Resto Tradisional, Toko Hijab, Ticketing, Biro Perjalanan Umroh-Haji dan lain sebagainya.

Kondisi Ruko

- Luas Ruko : 108 m2
- Listrik : 2200 Watt
- Telpon dan PDAM

Harga Sewa : Rp. 75 juta/tahun (Nego)

Hubungi : 0815-5050310 (Ibu Yoga)

Mentiko Betuah (NAD)

(https://www.flickr.com)

Konon, pada zaman dahulu di negeri Semeulue, tersebutlah seorang raja yang kaya-raya. Raja itu sangat disenangi oleh rakyatnya, karena kedermawanannya. Namun, ia tidak memiliki anak setelah sepuluh tahun menikah dengan permaisurinya. Oleh karena sudah tidak tahan lagi ingin punya keturunan, Raja itu pun pergi bersama permaisurinya ke hulu sungai yang airnya sangat dingin untuk berlimau dan bernazar, agar dikaruniai seorang anak yang kelak akan mewarisi tahta kerajaan.

Tempat yang akan dituju itu berada sangat jauh dari keramaian. Untuk menuju ke sana, mereka harus menyusuri hutan belantara, menyeberangi sungai-sungai, serta mendaki dan menuruni gunung. Mereka pun berangkat dengan membawa bekal secukupnya. Setiba kedua suami-istri di sana, mereka mulai melaksanakan maksud dari kedatangan mereka. Setelah sehari-semalam berlimau dan bernazar, mereka pun kembali ke istana.

Setelah menunggu berhari-hari dan berminggu-minggu, akhirnya doa mereka terkabul. Permaisuri diketahui telah mengandung satu bulan. Delapan bulan kemudian, Permaisuri pun melahirkan seorang anak laki-laki, dan diberinya nama Rohib. Raja sangat gembira menyambut kelahiran putranya itu, yang selama ini diidam-idamkannya. Raja kemudian memukul beduk untuk memberitahukan kepada seluruh rakyatnya agar berkumpul di pendopo istana. Selanjutnya, Raja menyampaikan bahwa ia hendak mengadakan selamatan sebagai tanda syukur atas rahmat Tuhan yang telah menganugerahinya anak. Keesokan harinya, selamatan pun dilangsungkan sangat meriah dengan berbagai macam pertunjukan.

Raja dan permaisuri mendidik dan membesarkan putra mereka dengan penuh kasih sayang. Mereka sangat memanjakannya, sehingga anak itu tumbuh menjadi anak yang sangat manja. Waktu terus berlalu, Rohib pun bertambah besar. Rohib kemudian dikirim oleh orang tuanya ke kota untuk belajar di sebuah perguruan. Sebelum berangkat, Rohib mendapat pesan dari ayahnya agar belajar dengan tekun. Setelah itu, ia pun berpamitan kepada orang tuanya. Sudah beberapa tahun Rohib belajar, Rohib belum juga mampu menyelesaikana pelajarannya karena sudah terbiasa manja. Ayahnya menjadi sangat marah kepadanya, bahkan ingin menghukumnya, ketika ia kembali ke istana.

“Hai, Rohib! Anak macam apa kamu! Dasar anak keras kepala! Sudah tidak mau mendengar nasihat orang tua. Pengawal! Gantung anak ini sampai mati!” perintah sang Raja. Mendengar perintah suaminya kepada pengawal, Permaisuri pun segera bersujud di hadapan suaminya.

“Ampun, Kakanda! Rohib adalah anak kita satu-satunya. Adinda mohon, Rohib jangan dihukum mati. Berilah ia hukuman lainnya!” pinta sang Permaisuri kepada suaminya.

“Tapi, Kanda sudah muak melihat muka anak ini!” jawab sang Raja dengan geramnya.

“Bagaimana kalau kita usir saja dia dari istana ini? Tapi dengan syarat, Kakanda bersedia memberinya uang sebagai modal untuk berdagang,” usul sang Permaisuri.

“Baiklah, Dinda! Usulan Dinda aku terima. Tapi dengan syarat, uang yang aku berikan kepada Rohib tidak boleh ia habiskan kecuali untuk berdagang,” jawab sang Raja.

“Bagaimana pendapatmu, Anakku?” Permaisuri balik bertanya kepada Rohib.

“Baiklah, Bunda! Rohib bersediah memenuhi syarat itu. Terima kasih, Bunda!” jawab Rohib.

“Jika kamu melanggar lagi, maka tidak ada ampun bagimu, Rohib!” tambah Raja menegaskan kepada putranya itu.

Setelah itu, Rohib berpamitan kepada orang tuanya untuk pergi berdagang. Ia pergi dari satu kampung ke kampung dengan menyusuri hutan belantara. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan anak-anak kampung yang sedang menembak burung dengan ketapel.

“Wahai, Saudara-saudaraku! Janganlah kalian menganiaya burung itu, karena burung itu tidak berdosa.” tegur si Rohib kepada anak-anak itu.

“Hei, kamu siapa? Berani-beraninya kamu melarang kami,” bantah salah seorang dari anak-anak kampung itu.

“Jika kalian berhenti menembaki burung itu, aku akan memberi kalian uang,” tawar Rohib.

Anak-anak kampung itu menerima tawaran Rohib.

Setelah memberikan uang kepada mereka, Rohib pun melanjutkan perjalanannya. Belum jauh berjalan, ia menemukan lagi orang-orang kampung yang sedang memukuli seekor ular. Rohib tidak tega melihat perbuatan mereka tersebut. Ia kemudian memberikan uang kepada orang-orang tersebut agar berhenti menganiaya ular itu. Setelah itu, ia melanjutkan lagi perjalanannya menyusuri hutan lebat menuju ke sebuah perkampungan. Demikian seterusnya, selama dalam perjalanannya, ia selalu memberi uang kepada orang-orang yang menganiaya binatang, sehingga tanpa disadarinya uang yang seharusnya dijadikan modal berdagang sudah habis.

Setelah sadar, ia pun mulai gelisah dan berpikir bagaimana jika ia pulang ke istana. Tentu ayahnya akan sangat marah dan akan menghukumnya. Apalagi ia telah dua kali melakukan kesalahan besar, pasti ayahnya tidak akan mengampuninya lagi. Oleh karena kelelahan seharian berjalan, ia pun memutuskan untuk beristirahat di bawah sebuah pohon yang rindang. Ia kemudian duduk di atas sebuah batu besar yang ada di bawah pohon itu sambil menangis tersedu-sedu. Pada saat itu, tiba-tiba seekor ular besar mendekatinya. Rohib sangat ketakutan, mengira dirinya akan dimangsa ular itu.

“Jangan takut, Anak muda! Saya tidak akan memakanmu,” kata ular itu. Melihat ular itu dapat berbicara, rasa takut Rohib pun mulai hilang.

“Hai, Ular besar! Kamu siapa? Kenapa kamu bisa berbicara?” tanya si Rohib mulai akrab.

“Aku adalah Raja Ular di hutan ini,” jawab ular itu.

“Kamu sendiri siapa? Kenapa kamu bersedih?” ular itu balik bertanya kepada si Rohib.

“Aku adalah si Rohib,” jawab Rohib, lalu menceritakan semua masalahnya dan semua kejadian yang telah dialami selama dalam perjalanannya.

“Kamu adalah anak yang baik, Hib,” kata Ular itu dengan akrabnya.

“Karena kamu telah melindungi hewan-hewan di hutan ini dari orang-orang kampung yang menganiayanya, aku akan memberimu hadiah sebagai tanda terima kasihku,” tambah ular itu lalu kemudian mengeluarkan sesuatu dari mulutnya.

“Benda apa itu?” tanya si Rohib penasaran.

“Benda itu adalah benda yang sangat ajaib. Apapun yang kamu minta, pasti akan dikabulkan. Namanya Mentiko Betuah,” jelas Ular itu, lalu pergi meninggalkan si Rohib.

Sementara itu, Rohib masih asyik mengamati Mentiko Betuah itu. “Waw, hebat sekali benda ini. Berarti benda ini bisa menolongku dari kemurkaan ayah,” gumam Rohib dengan perasaan gembira. Berbekal Mentiko Betuah itu, Rohib memberanikan diri kembali ke istana untuk menghadap kepada ayahnya. Namun, sebelum sampai di istana, terlebih dahulu ia memohon kepada Mentiko Betuah agar memberinya uang yang banyak untuk menggantikan modalnya yang telah dibagi-bagikan kepada orang-orang kampung, dan keuntungan dari hasil dagangannya. Ayahnya pun sangat senang menyambut putranya yang telah membawa uang yang banyak dari hasil dagangannya. Akhirnya, Rohib diterima kembali oleh ayahnya dan terbebas dari ancaman hukuman mati. Semua itu berkat pertolongan Mentiko Betuah, pemberian ular itu.

Setelah itu, Rohib berpikir bagaimana cara untuk menyimpan Mentiko Betuah itu agar tidak hilang. Suatu hari, ia menemukan sebuah cara, yaitu ia hendak menempanya menjadi sebuah cincin. Lalu dibawanya Mentiko Betuah itu kepada seorang tukang emas. Namun tanpa disangkanya, tukang emas itu menipunya dengan membawa lari benda itu. Oleh karena Rohib sudah bersahabat dengan hewan-hewan, ia pun meminta bantuan kepada mereka. Tikus, kucing dan anjing pun bersedia menolongnya. Anjing dengan indera penciumannya, berhasil menemukan jejak si tukang emas, yang telah melarikan diri ke seberang sungai. Kini, giliran si Kucing dan si Tikus untuk mencari cara bagaimana cara mengambil cincin itu yang disimpan di dalam mulut tukang emas. Pada tengah malam, si Tikus memasukkan ekornya ke dalam lubang hidung si Tukang Emas yang sedang tertidur. Tak berapa lama, Tukang Emas itu bersin, sehingga Mentiko Betuah terlempar keluar dari mulutnya. Pada saat itulah, si Tikus segera mengambil benda itu.

Namun, ketika Mentiko Betuah akan dikembalikan kepada Rohib, si Tikus menipu kedua temannya dengan mengatakan bahwa Mentiko Betuah terjatuh ke dalam sungai. Padahal sebenarnya benda itu ada di dalam mulutnya. Pada saat kedua temannya mencari benda itu ke dasar sungai, ia segera menghadap kepada si Rohib. Dengan demikian, si Tikuslah yang dianggap sebagai pahlawan dalam hal ini. Sementara, si Kucing dan si Anjing merasa sangat bersalah, karena tidak berhasil membawa Mentiko Betuah. Ketika diketahui bahwa si Rohib telah menemukan Mentiko Betuahnya, yang dibawa oleh si Tikus, maka tahulah si Kucing dan si Anjing bahwa si Tikus telah melakukan kelicikan.

Menurut masyarakat setempat, bahwa berawal dari cerita inilah mengapa tikus sangat dibenci oleh anjing dan kucing hingga saat ini.

Pesan Moral

Cerita rakyat di atas termasuk ke dalam cerita-cerita teladan yang mengandung pesan-pesan moral. Ada beberapa pesan moral yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari, yaitu di antaranya; sikap suka menolong, akibat buruk terlalu memanjakan anak dan akibat buruk suka berbuat licik.

Pertama, sikap suka menolong. Sikap ini tercermin pada sikap Rohib yang selalu melindungi hewan-hewan dari orang-orang kampung yang menganiayanya, meskipun ia harus berkorban dengan memberikan uang modal dagangannya kepada mereka. Namun, berkat ketulus-ikhlasannya tersebut, ia mendapat pertolongan dari seekor ular, sehingga ia terbebas dari hukuman ayahnya. Sikap Rohib ini sangat patut untuk dijadikan sebagai suri teladan dalam kehidupan sehari-hari. Sikap ini juga sangat diutamakan dalam kehidupan orang-orang Melayu, sebagaimana yang dikemukakan dalama tunjuk ajar Melayu berikut ini:

wahai ananda dengarlah amanat,
tulus dan ikhlas jadikan azimat
berkorban menolong sesama umat
semoga hidupmu beroleh rahmat

Kedua, akibat buruk terlalu memanjakan anak. Sikap ini tercermin pada kedua orang tua Rohib yang selalu memanjakannya ketika ia masih kecil. Akibatnya, sifat manja itu terbawa-bawa sampai Rohib menjadi besar. Oleh karena sifat manjanya itu, ia tidak berhasil menyelesaikan pendidikannya di kota sebagaimana yang diharapkan oleh orang tuanya. Sikap terlalu memanjakan anak ini tidak patut untuk dijadikan suri teladan, karena sangat memengaruhi perkembangan mental dan perilaku anak. Sifat manja dapat membuat anak menjadi malas belajar. Anak yang malas belajar, tentu memiliki wawasan yang sempit. Terkait dengan sifat malas belajar dan berwawasan sempit ini, Tenas Effendy dalam bukunya “Ejekan” Terhadap Orang Melayu Riau dan Pantangan Orang Melayu Riau menyebutkan beberapa ungkapan pantangan mengenai kedua sifat tersebut, yaitu:

Pertama, ungkapan tentang sifat malas belajar dikatakan:

menuntut ilmu bermalas-malas,
orang tegak awak terlindas

Kedua, ungkapan tentang sifat berwawasan sempit dikatakan:

kalau hidup tidak senonoh,
pandangan sempit pikiran bodoh

Ketiga, akibat buruk suka berbuat curang dan licik. Sikap ini tercermin pada perilaku si Tikus yang telah menipu si Kucing dan si Anjing, karena hanya ingin mencari muka dan mendapat pujian dari si Rohib, putra raja itu. Akibat kelicikannya itu, ia pun sangat dibenci oleh kucing dan anjing. Sikap licik ini termasuk sifat yang tercela, sehingga tidak patut untuk dijadikan sebagai suri teladan dalam kehidupan sehari-hari. Terkait dengan sifat curang dan licik ini, Tenas Effendy juga menyatakannya dalam ungkapan seperti berikut:

apa tanda orang yang licik,
janji mungkir cakap terbalik

Banta Berensyah (NAD)


Banta Berensyah adalah seorang anak laki-laki yatim dan miskin. Ia sangat rajin bekerja dan selalu bersabar dalam menghadapi berbagai hinaan dari pamannya yang bernama Jakub. Berkat kerja keras dan kesabarannya menerima hinaan tersebut, ia berhasil menikah dengan seorang putri raja yang cantik jelita dan dinobatkan menjadi raja. Bagaimana kisahnya? Ikuti cerita Banta Berensyah berikut ini!

Alkisah, di sebuah dusun terpencil di daerah Nanggro Aceh Darussalam, hiduplah seorang janda bersama seorang anak laki-lakinya yang bernama Banta Berensyah. Banta Berensyah seorang anak yang rajin dan mahir bermain suling. Kedua ibu dan anak itu tinggal di sebuah gubuk bambu yang beratapkan ilalang dan beralaskan dedaunan kering dengan kondisi hampir roboh. Kala hujan turun, air dengan leluasa masuk ke dalamnya. Bangunan gubuk itu benar-benar tidak layak huni lagi. Namun apa hendak dibuat, jangankan biaya untuk memperbaiki gubuk itu, untuk makan sehari-hari pun mereka kesulitan.

Untuk bertahan hidup, ibu dan anak itu menampi sekam di sebuah kincir padi milik saudaranya yang bernama Jakub. Jakub adalah saudagar kaya di dusun itu. Namun, ia terkenal sangat kikir, loba, dan tamak. Segala perbuatannya selalu diperhitungkan untuk mendapatkan keuntungan sendiri. Terkadang ia hanya mengupahi ibu Banta Berensyah dengan segenggam atau dua genggam beras. Beras itu hanya cukup dimakan sehari oleh janda itu bersama anaknya.

Pada suatu hari, janda itu berangkat sendirian ke tempat kincir padi tanpa ditemani Banta Berensyah, karena sedang sakit. Betapa kecewanya ia saat tiba di tempat itu. Tak seorang pun yang menumbuk padi. Dengan begitu, tentu ia tidak dapat menampi sekam dan memperoleh upah beras. Dengan perasaan kecewa dan sedih, perempuan paruh baya itu kembali ke gubuknya. Setibanya di gubuk, ia langsung menghampiri anak semata wayangnya yang sedang terbaring lemas. Wajah anak itu tampak pucat dan tubuhnya menggigil, karena sejak pagi perutnya belum terisi sedikit pun makanan.

“Ibu...! Banta lapar,” rengek Banta Berensyah.

Janda itu hanya terdiam sambil menatap lembut anaknya. Sebenarnya, hati kecilnya teriris-iris mendengar rengekan putranya itu. Namun, ia tidak bisa berbuat apa-apa, karena tidak ada sama sekali makanan yang tersisa. Hanya ada segelas air putih yang berada di samping anaknya. Dengan perlahan, ia meraih gelas itu dan mengulurkannya ke mulut Banta Berensyah. Seteguk demi seteguk Banta Berensyah meminum air dari gelas itu sebagai pengganti makanan untuk menghilangkan rasa laparnya. Setelah meminum air itu, Banta merasa tubuhnya sedikit mendapat tambahan tenaga. Dengan penuh kasih sayang, ia menatap wajah ibunya. Lalu, perlahan-lahan ia bangkit dari tidurnya seraya mengusap air mata bening yang keluar dari kelopak mata ibunya.

“Kenapa ibu menangis?” tanya Banta dengan suara pelan.

Mulut perempuan paruh baya itu belum bisa berucap apa-apa. Dengan mata berkaca-kaca, ia hanya menghela nafas panjang. Banta pun menatap lebih dalam ke arah mata ibunya. Sebenarnya, ia mengerti alasan kenapa ibunya menangis.

“Bu! Banta tahu mengapa Ibu meneteskan air mata. Ibu menangis karena sedih tidak memperoleh upah hari ini,” ungkap Banta.

“Sudahlah, Bu! Banta tahu, Ibu sudah berusaha keras mencari nafkah agar kita bisa makan. Barangkali nasib baik belum berpihak kepada kita,” bujuknya.

Mendengar ucapan Banta Berensyah, perempuan paruh baya itu tersentak. Ia tidak pernah mengira sebelumnya jika anak semata wayangnya, yang selama ini dianggapnya masih kecil itu, ternyata pikirannya sudah cukup dewasa. Dengan perasaan bahagia, ia merangkul tubuh putranya sambil meneteskan air mata. Perasaan bahagia itu seolah-olah telah menghapus segala kepedihan dan kelelahan batin yang selama ini membebani hidupnya.

“Banta, Anakku! Ibu bangga sekali mempunyai anak sepertimu. Ibu sangat sayang kepadamu, Anakku,” ucap Ibu Banta dengan perasaan haru.

Kasih sayang dan perhatian ibunya itu benar-benar memberi semangat baru kepada Banta Berensyah. Tubuhnya yang lemas, tiba-tiba kembali bertenaga. Ia kemudian menatap wajah ibunya yang tampak pucat. Ia sadar bahwa saat ini ibunya pasti sedang lapar. Oleh karena itu, ia meminta izin kepada ibunya hendak pergi ke rumah pamannya, Jakub, untuk meminta beras. Namun, ibunya mencegahnya, karena ia telah memahami perangai saudaranya yang kikir itu.

“Jangan, Anakku! Bukankah kamu tahu sendiri kalau pamanmu itu sangat perhitungan. Ia tentu tidak akan memberimu beras sebelum kamu bekerja,” ujar Ibu Banta.

“Banta mengerti, Bu! Tapi, apa salahnya jika kita mencobanya dulu. Barangkali paman akan merasa iba melihat keadaan kita,” kata Banta Berensyah.

Berkali-kali ibunya mencegahnya, namun Banta Berensyah tetap bersikeras ingin pergi ke rumah pamannya. Akhirnya, perempuan yang telah melahirkannya itu pun memberi izin. Maka berangkatlah Banta Berensyah ke rumah pamannya. Saat ia masuk ke pekarangan rumah, tiba-tiba terdengar suara keras membentaknya. Suara itu tak lain adalah suara pamannya.

“Hai, anak orang miskin! Jangan mengemis di sini!” hardik saudagar kaya itu.

“Paman, kasihanilah kami! Berikanlah kami segenggam beras, kami lapar!” iba Banta Berensyah.

“Ah, persetan dengan keadaanmu itu. Kalian lapar atau mati sekalian pun, aku tidak perduli!” saudagar itu kembali menghardiknya dengan kata-kata yang lebih kasar lagi.

Betapa kecewa dan sakitnya hati Banta Berensyah. Bukannya beras yang diperoleh dari pamannya, melainkan cacian dan makian. Ia pun pulang ke rumahnya dengan perasaan sedih dan kesal. Tak terasa, air matanya menetes membasahi kedua pipinya.

Dalam perjalanan pulang, Banta Berensyah mendengar kabar dari seorang warga bahwa raja di sebuah negeri yang letaknya tidak berapa jauh dari dusunnya akan mengadakan sayembara. Raja negeri itu mempunyai seorang putri yang cantik jelita nan rupawan. Ia bagaikan bidadari yang menghimpun semua pesona lahir dan batin. Kulitnya sangat halus, putih, dan bersih. Saking putihnya, kulit putri itu seolah-olah tembus pandang. Jika ia menelan makanan, seolah-olah makanan itu tampak lewat ditenggorokannya. Itulah sebabnya ia diberi nama Putri Terus Mata. Setiap pemuda yang melihat kecantikannya pasti akan tergelitik hasratnya untuk mempersuntingnya. Sudah banyak pangeran yang datang meminangnya, namun belum satu pun pinangan yang diterima. Putri Terus Mata akan menerima lamaran bagi siapa saja yang sanggup mencarikannya pakaian yang terbuat dari emas dan suasa.

Mendengar kabar itu, Banta Berensyah timbul keinginannya untuk mengandu untung. Ia berharap dengan menikah dengan sang Putri, hidupnya akan menjadi lebih baik. Siapa tahu ia bernasib baik, pikirnya. Ia pun bergegas pulang ke gubuknya untuk menemui ibunya. Setibanya di gubuk, ia langsung duduk di dekat ibunya. Sambil mendekatkan wajahnya yang sedikit pucat karena lapar, Banta Berensyah menyampaikan perihal hasratnya mengikuti sayembara tersebut kepada ibunya. Ia berusaha membujuk ibunya agar keinginannya dikabulkan. “Bu! Banta sangat sayang dan ingin terus hidup di samping ibu. Ibu telah berusaha memberikan yang terbaik untuk Banta. Kini Banta hampir beranjak dewasa. Saatnya Banta harus bekerja keras memberikan yang terbaik untuk Ibu. Jika Ibu merestui niat tulus ini, izinkanlah Banta merantau untuk mengubah nasib hidup kita!” pinta Banta Berensyah.

Perempuan paruh baya itu tak mampu lagi menyembunyikan kekagumannya kepada anak semata wayangnya itu. Ia pun memeluk erat Banta dengan penuh kasih sayang.

“Banta, Anakku! Kamu adalah anak yang berbakti kepada orangtua. Jika itu sudah menjadi tekadmu, Ibu mengizinkanmu walaupun dengan berat hati harus berpisah denganmu,” kata perempuan paruh baya itu.

“Tapi, bagaimana kamu bisa merantau ke negeri lain, Anakku? Apa bekalmu di perjalanan nanti? Jangankan untuk ongkos kapal dan bekal, untuk makan sehari-hari pun kita tidak punya,” tambahnya.

“Ibu tidak perlu memikirkan masalah itu. Cukup doa dan restu Ibu menyertai Banta,” kata Banta Berensyah.

Setelah mendapat restu dari ibunya, Banta Berensyah pun pergi ke sebuah tempat yang sepi untuk memohon petunjuk kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Setelah semalam suntuk berdoa dengan penuh khusyuk, akhirnya ia pun mendapat petunjuk agar membawa sehelai daun talas dan suling miliknya ke perantauan. Daun talas itu akan ia gunakan untuk mengarungi laut luas menuju ke tempat yang akan ditujunya. Sedangkan suling itu akan ia gunakan untuk menghibur para tukang tenun untuk membayar biaya kain emas dan suasa yang dia perlukan.

Keesokan harinya, usai berpamitan kepada ibunya, Banta Berensyah pun pergi ke rumah pamannya, Jakub. Ia bermaksud meminta tumpangan di kapal pamannya yang akan berlayar ke negeri lain. Setibanya di sana, ia kembali dibentak oleh pamannya.

“Ada apa lagi kamu kemari, hai anak malas!” seru sang Paman.

“Paman! Bolehkah Ananda ikut berlayar sampai ke tengah laut?” pinta Banta Berensyah.

Jakub tersentak mendengar permintaan aneh dari Banta Berensyah. Ia berpikir bahwa kemanakannya itu akan bunuh diri di tengah laut. Dengan senang hati, ia pun mengizinkannya. Ia merasa hidupnya akan aman jika anak itu telah mati, karena tidak akan lagi datang meminta-minta kepadanya. Akhirnya, Banta Berensyah pun ikut berlayar bersama pamannya. Begitu kapal yang mereka tumpangi tiba di tengah-tengah samudra, Banta meminta kepada pamannya agar menurunkannya dari kapal.

“Paman! Perjalanan Nanda bersama Paman cukup sampai di sini. Tolong turunkan Nanda dari kapal ini!” pinta Banta Betensyah.

Saudagar kaya itu pun segera memerintahkan anak buahnya untuk menurunkan Banta ke laut. Namun sebelum diturunkan, Banta mengeluarkan lipatan daun talas yang diselempitkan di balik pakaiannya. Kemudian ia membuka lipatan daun talas itu seraya duduk bersila di atasnya. Melihat kelakuan Banta itu, Jakub menertawainya.

“Ha... ha... ha...! Dasar anak bodoh!” hardik saudagar kaya itu.

“Pengawal! Turunkan anak ini dari kapal! Biarkan saja dia mati dimakan ikan besar!” serunya.

Namun, betapa terkejutnya saudagar kaya itu dan para anak buahnya setelah menurunkan Banta Berensyah ke laut. Ternyata, sehelai daun talas itu mampu menahan tubuh Banta Berensyah di atas air. Dengan bantuan angin, daun talas itu membawa Banta menuju ke arah barat, sedangkan pamannya berlayar menuju ke arah utara.

Setelah berhari-hari terombang-ambing di atas daun talas dihempas gelombang samudra, Banta Berensyah tiba di sebuah pulau. Saat pertama kali menginjakkan kaki di pulau itu, ia terkagum-kagum menyaksikan pemandangan yang sangat indah dan memesona. Hampir di setiap halaman rumah penduduk terbentang kain tenunan dengan berbagai motif dan warna sedang dijemur. Rupanya, hampir seluruh penduduk di pulau itu adalah tukang tenun.

Banta pun mampir ke salah satu rumah penduduk untuk menanyakan kain emas dan suasa yang sedang dicarinya. Namun, penghuni rumah itu tidak memiliki jenis kain tersebut. Ia pun pindah ke rumah tukang tenun di sebelahnya, dan ternyata si pemilik rumah itu juga tidak memilikinya. Berhari-hari ia berkeliling kampung dan memasuki rumah penduduk satu persatu, namun kain yang dicarinya belum juga ia temukan. Tinggal satu rumah lagi yang belum ia masuki, yaitu rumah kepala kampung yang juga tukang tenun.

“Tok... Tok... Tok.. ! Permisi, Tuan!” seru Banta Berensyah setelah mengetuk pintu rumah kepala kampung itu.

Beberapa saat kemudian, seorang laki-laki paruh baya membuka pintu dan mempersilahkannya masuk ke dalam rumah.

“Ada yang bisa kubantu, Anak Muda?” tanya kampung itu bertanya.

Setelah memperkenalkan diri dan menceritakan asal-usulnya, Banta pun menyampaikan maksud kedatangannya.

“Maaf, Tuan! Kedatangan saya kemari ingin mencari kain tenun yang terbuat dari emas dan suasa. Jika Tuan memilikinya, bolehkah saya membelinya?” pinta Banta Berensyah.

Kepala kampung itu tersentak kaget mendengar permintaan Banta, apalagi setelah melihat penampilan Banta yang sangat sederhana itu.

“Hai, Banta! Dengan apa kamu bisa membayar kain emas dan suasa itu? Apakah kamu mempunyai uang yang cukup untuk membayarnya?”

“Maaf, Tuan! Saya memang tidak mampu membayarnya dengan uang. Tapi, jika Tuan berkenan, bolehkah saya membayarnya dengan lagu?” pinta Banta Berensyah seraya mengeluarkan sulingnya.

Melihat keteguhan hati Banta Berensyah hendak memiliki kain tenun tersebut, kepala kampung itu kembali bertanya kepadanya.

“Banta! Kalau boleh saya tahu, kenapa kamu sangat menginginkan kain itu?”

Banta pun menceritakan alasannya sehingga ia harus berjuang untuk mendapatkan kain tersebut. Karena iba mendengar cerita Banta, akhirnya kepala kampung itu memenuhi permintaannya. Dengan keahliannya, Banta pun memainkan sulingnya dengan lagu-lagu yang merdu. Kepala kampung itu benar-benar terbuai menikmati senandung lagu yang dibawakan Banta. Setelah puas menikmatinya, ia pun memberikan kain emas dan suasa miliknya kepada Banta.

“Kamu sangat mahir bermain suling, Banta! Kamu pantas mendapatkan kain emas dan suasa ini,” ujar kepala kampung itu.

“Terima kasih, Tuan! Banta sangat berhutang budi kepada Tuan. Banta akan selalu mengingat semua kebaikan hati Tuan,” kata Banta.

Setelah mendapatkan kain emas dan suasa tersebut, Banta pun meninggalkan pulau itu. Ia berlayar mengarungi lautan luas menuju ke kampung halamannya dengan menggunakan daun talas saktinya. Hati anak muda itu sangat gembira. Ia tidak sabar lagi ingin menyampaikan berita gembira itu kepada ibunya dan segera mempersembahkan kain emas dan suasa itu kepada Putri Terus Mata.

Namun, nasib malang menimpa Banta. Ketika sampai di tengah laut, ia bertemu dan ikut dengan kapal Jakub yang baru saja pulang berlayar dari negeri lain. Saat ia berada di atas kapal itu, kain emas dan suasa yang diperolehnya dengan susah payah dirampas oleh Jakub. Setelah kainnya dirampas, ia dibuang ke laut. Dengan perasaan bangga, Jakub membawa pulang kain tersebut untuk mempersunting Putri Terus Mata.

Sementara itu, Banta yang hanyut terbawa arus gelombang laut terdampar di sebuah pantai dan ditemukan oleh sepasang suami-istri yang sedang mencari kerang. Sepasang suami-istri itu pun membawanya pulang dan mengangkatnya sebagai anak. Setelah beberapa lama tinggal bersama kedua orang tua angkatnya tersebut, Banta pun memohon diri untuk kembali ke kampung halamannya menemui ibunya dengan menggunakan daun talas saktinya. Setiba di gubuknya, ia pun disambut oleh ibunya dengan perasaan suka-cita. Kemudian, Banta pun menceritakan semua kejadian yang telah dialaminya.

“Maafkan Banta, Bu! Sebenarnya Banta telah berhasil mendapatkan kain emas dan suasa itu, tetapi Paman Jakub merampasnya,” Banta bercerita kepada ibunya dengan perasaan kecewa.

“Sudahlah, Anakku! Ibu mengerti perasaanmu. Barangkali belum nasibmu mempersunting putri raja,” ujar Ibunya.

“Tapi, Bu! Banta harus mendapatkan kembali kain emas dan suasa itu dari Paman. Kain itu milik Banta,” kata Banta dengan tekad keras.

“Semuanya sudah terlambat, Anakku!” sahut ibunya.

“Apa maksud Ibu berkata begitu?” tanya Banta penasaran.

“Ketahuilah, Anakku! Pamanmu memang sungguh beruntung. Saat ini, pesta perkawinannya dengan putri raja sedang dilangsungkan di istana,” ungkap ibunya.

Tanpa berpikir panjang, Banta segera berpamitan kepada ibunya lalu bergegas menuju ke tempat pesta itu dilaksanakan. Namun, setibanya di kerumunan pesta yang berlangsung meriah itu, Banta tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai bukti untuk menunjukkan kepada raja dan sang Putri bahwa kain emas dan suasa yang dipersembahkan Jakub itu adalah miliknya. Sejenak, ia menengadahkan kedua tangannya berdoa meminta pertolongan kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Begitu ia selesai berdoa, tiba-tiba datanglah seekor burung elang terbang berputar-putar di atas keramaian pesta sambil berbunyi.

“Klik.. klik... klik... kain emas dan suasa itu milik Banta Berensyah...!!! Klik... klik.. klik... kain emas dan suasa itu milik Banta Berensyah...!!!” demikian bunyi elang itu berulang-ulang.

Mendengar bunyi elang itu, seisi istana menjadi gempar. Suasana pesta yang meriah itu seketika menjadi hening. Bunyi elang itu pun semakin jelas terdengar. Akhirnya, Raja dan Putri Terus Mata menyadari bahwa Jakub adalah orang serakah yang telah merampas milik orang lain. Sementara itu Jakub yang sedang di pelaminan mulai gelisah dan wajahnya pucat. Karena tidak tahan lagi menahan rasa malu dan takut mendapat hukuman dari Raja, Jakub melarikan diri melalui jendela. Namun, saat akan meloncat, kakinya tersandung di jendela sehingga ia pun jatuh tersungkur ke tanah hingga tewas seketika.

Setelah peristiwa itu, Banta Berensyah pun dinikahkan dengan Putri Terus Mata. Pesta pernikahan mereka dilangsungkan selama tujuh hari tujuh malam dengan sangat meriah. Tidak berapa lama setelah mereka menikah, Raja yang merasa dirinya sudah tua menyerahkan jabatannya kepada Banta Berensyah. Banta Berensyah pun mengajak ibunya untuk tinggal bersamanya di istana. Akhirnya, mereka pun hidup berbahagia bersama seluruh keluarga istana.

* * *

Demikian cerita dongeng Banta Berensyah dari daerah Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia. Sedikitnya ada dua pelajaran penting yang dapat dipetik dari kisah di atas.

Pertama, orang yang senantiasa berusaha dan bekerja keras, pada akhirnya akan memperoleh keberhasilan. Sebagaimana ditunjukkan oleh perilaku Banta Berensyah, berkat kerja keras dan kesabarannya, ia berhasil mempersunting putri raja dan menjadi seorang raja. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

wahai ananda cahaya mata,
rajin dan tekun dalam bekerja
penat dan letih usah dikira
supaya kelak hidupmu sejahtera

Pelajaran kedua yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa orang kaya yang kikir dan serakah seperti Jakub, pada akhirnya akan mendapat balasan yang setimpal. Ia tewas akibat keserakahannya. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

apa tanda orang tamak,
karena harta marwah tercampak

Sumber: Ceritaasliindonesia

Banta Seudang (NAD)


Aliksah, di Negeri Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia, hiduplah seorang Raja yang adil dan bijaksana. Sang Raja mempunyai seorang permaisuri yang sedang hamil tua. Suatu ketika, sang Raja pergi berburu binatang ke hutan. Ketika itulah permaisurinya melahirkan seorang anak laki-laki yang tampan di istana, dan diberinya nama Banta Seudang. Namun, malang nasib bagi sang Raja, karena ia tidak bisa melihat wajah tampan putranya. Kedua matanya buta terkena ranting kayu saat berburu di hutan. Sejak saat itu, ia tidak dapat melaksanakan tugas-tugas kerajaan lagi. Oleh karena Banta Seudang masih bayi, maka tahta kerajaan ia serahkan untuk sementara kepada adik kandungnya. Namun, sang Adik yang baru diangkat menjadi raja itu sangat licik dan serakah. Ia membuatkan sebuah rumah agak jauh dari istana untuk tempat tinggal kakaknya bersama istri dan Banta Seudang. Raja baru itu setiap hari mengirim bantuan makanan untuk kebutuhan sehari-hari sang Kakak bersama keluarganya.

Waktu terus berjalan. Banta Seudang tumbuh menjadi remaja yang tampan. Ia pun mulai bertanya-tanya kepada ibunya tentang siapa yang memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari, padahal ayahnya buta.

“Maaf, Ibu! Bolehkah aku bertanya sesuatu kepada Ibu,” kata Banta.

“Ada apa, Anakku? Katakanlah!” seru sang Ibu.

“Dari mana kita mendapat makanan setiap hari, padahal Ayah tidak pernah bekerja?” tanya Banta ingin tahu.

“Ketahuilah, Anakku! Kebutuhan hidup sehari-hari kita dibantu oleh Pakcikmu yang kini menjadi Raja,” jawab ibunya.

“Pakcik baik hati sekali ya Bu,” kata Banta.

“Iya, Anakku!” jawab sang Ibu sambil tersenyum seraya membelai-belai rambut si Banta.

Pada suatu hari, sang Ibu bersama Banta Seudang pergi menghadap sang Raja. Di hadapan Raja, sang Ibu memohon kepada Raja untuk membantu Banta Seudang agar bisa bersekolah. Namun, permohonan sang Ibu ditolak oleh sang Raja.

“Dasar kalian tidak tahu diri! Dikasih sedepa minta sejengkal pula. Bukankah semua kebutuhan hidup sehari-hari kalian telah aku penuhi!” bentak sang Raja.

Alangkah sedihnya hati sang Ibu mendengar bentakan itu. Ia pun mengajak Banta kembali ke rumah. Sesampainya di rumah, Banta Seudang berusaha menenangkan hati ibunya.

“Sudahlah, Bu! Ibu tidak usah bersedih begitu. Kita seharusnya bersyukur karena Pakcik sudah banyak membantu kita,” bujuk si Banta.

“Banta! Kamu memang Anakku yang baik. Tapi, kamu harus sekolah seperti teman-teman sebayamu,” kata sang Ibu.

Mendengar perkataan itu, si Banta tiba-tiba berpikir bahwa apa yang dikatakan ibunya itu benar. Maka timbullah pikirannya untuk mencari obat mata untuk ayahnya. Jika kelak ayahnya bisa melihat lagi, tentu sang Ayah bisa mencari nafkah sendiri dan dapat membantu biaya sekolahnya.

Pada suatu hari, Banta Seudang menyampaikan niatnya kepada ibunya.

“Bu, Banta ingin pergi mencari obat mata untuk Ayah agar dapat kembali bekerja seperti biasanya dan Banta pun bisa sekolah,” ungkap Banta Seudang.

“Baiklah, Anakku! Ibu merestuimu. Pergilah mencari obat mata untuk Ayahmu. Ibu doakan semoga kamu berhasil,” kata sang Ibu.

Sang Ibu pun menyampaikan maksud Banta tersebut kepada ayah Banta. Dengan senang hati, sang Ayah pun merestui perjalanan Banta mencari obat.

Keesokan harinya, dengan bekal seperlunya, berangkatlah Banta Seudang untuk mencari obat. Ia berjalan seorang diri menyusuri hutan belantara, menyeberangi sungai, menaiki gunung, dan menuruni lembah-lembah. Setelah berbulan-bulan berjalan, ia pun tiba di sebuah hutan rimba yang dipenuhi oleh pohon-pohon besar. Di tengah hutan itu, ia menemukan sebuah balai. Ia pun memutuskan untuk melepas lelah di balai itu. Ketika sedang merebahkan tubuhnya, tiba-tiba hatinya bertanya-tanya.

‘Kenapa ada balai di tengah hutan ini? Wah, pasti ada orang yang tinggal di sekitar sini,” pikirnya dalam hati.

Ternyata benar. Menjelang waktu Ashar, tiba-tiba beberapa orang berjubah putih datang ke balai itu. Mereka lalu melakukan shalat secara berjamaah. Dengan hati bertanya-tanya, Banta hanya diam sambil memerhatikan perilaku orang-orang tersebut. Beberapa saat kemudian, Banta tiba-tiba melihat sebuah peristiwa ajaib. Begitu selesai shalat, orang-orang yang berjubah putih tersebut tiba-tiba menghilang dari pandangan matanya. Rupanya, Banta tidak tahu bahwa mereka itu adalah arwah-arwah para Aulia (Wali) Allah.

Setelah menyaksikan peristiwa itu, Banta kemudian berpikir akan mendekati imamnya ketika para Wali tersebut melaksanakan sholat.

“Jika mereka selesai shalat, aku akan langsung memegang tangan sang Imam agar tidak menghilang,” pikirnya.

Banta Seudang pun tinggal di balai itu menunggu kedatangan para Wali. Ketika waktu shalat Magrib tiba, para Wali tersebut datang untuk melaksanakan shalat. Banta Seudang pun segera duduk di samping imam. Begitu imam selesai shalat, ia langsung memegang tangannya.

“Hai, Anak Muda! Kenapa kamu memegang tanganku?” tanya imam itu.

‘Maaf, Tuan! Saya memegang tangan Tuan supaya tidak menghilang,” jawab Banta.

“Kalau saya boleh bertanya, siapakah Tuan-tuan ini sebenarnya? Kenapa Tuan-tuan bisa tiba-tiba muncul dan menghilang begitu saja?” tanya Banta heran.

“Kami adalah para Aulia Allah,” jawab imam itu.

“Engkau sendiri siapa? Kenapa bisa berada di tempat ini?” imam itu balik bertanya kepada Banta.

“Saya Banta Seudang, Tuan! Saya hendak mencari obat mata untuk Ayah saya,” jawab Banta.

‘Memang kenapa mata Ayahmu?” tanya imam itu.

“Mata ayah saya buta, Tuan! Saya ingin agar mata Ayah saya bisa melihat lagi,” jawab Banta.

“Engkau adalah anak yang berbakti. Baiklah kalau begitu, kamu tunggu di sini saja. Nanti akan datang gajah putih ke balai ini. Ikuti gajah putih itu ke mana pun pergi,” ujar sang Imam dan langsung menghilang.

Betapa senang hati Banta Seudang mendapat petunjuk dari Wali itu. Tidak berapa lama ia menunggu, tiba-tiba datanglah seekor gajah putih ke balai itu. Setelah mendapat isyarat dari gajah itu, Banta pun segera naik ke atas punggung gajah. Sang gajah berjalan menyusuri hutan belantara menuju ke sebuah lembah di mana terdapat sebuah sungai yang sangat jernih airnya. Di pinggir sungai terdapat sebuah pohon besar yang dihuni oleh Jin Pari yang memiliki baju terbang. Melihat kedatangan Banta bersama gajah putih itu, Jin Pari pun segera menyambut mereka.

“Jangan takut, Anak Muda! Aku sudah tahu maksud kedatanganmu kemari. Kamu ingin mencari obat mata untuk Ayahmu bukan?” tanya Jin Pari kepada Banta.

“Benar, Jin Pari!” jawab Banta.

“Baiklah kalau begitu. Aku tahu cara untuk menyembuhkan mata Ayahmu. Di tengah sungai itu, terdapat sebuah bunga ajaib, namanya bunga bangkawali,” ungkap Jin Pari.

“Bagaimana saya bisa mendapatkannya, Jin?” tanya Banta bingung.

Jin Pari pun bercerita kepada Banta Seudang bahwa setiap jumat ada tujuh putri raja dari negeri lain datang ke sungai itu untuk mandi-mandi. Untuk menjaga sungai itu, raja negeri lain menugaskan seorang perempuan tua bernama Mak Toyo. Ia tinggal di sekitar sungai itu. Setiap kali ketujuh putri raja selesai mandi di sungai itu, Mak Toyo turun ke sungai untuk menepuk air tiga kali. Setelah itu bunga ajaib ‘bangkawali’ akan muncul di atas permukaan air. Jadi, bunga bangkawali hanya bisa terlihat pada setiap hari jumat sesuai Mak Toyo menepuk air tiga kali. Untuk mendapatkan bunga ajaib itu harus meminta bantuan kepada Mak Toyo.

Pada suatu malam, Jin Pari bersama Banta Seudang mendatangi tempat tinggal Mak Toyo. Mak Toyo pun bersedia membantu untuk mendapatkan bawangkawali itu, tapi dengan satu syarat.

“Cucuku, jika ingin mendapatkan bunga bangkawali itu, kamu harus mengambilnya sendiri dengan berenang ke tengah sungai itu,” ujar Mak Toyo kepada Banta.

Setelah mendapat penjelasan dari Mak Toyo, Jin Pari dan Banta pun mohon diri. Untuk melaksanakan syarat Mak Toyo, Banta harus menunggu hingga hari jumat. Maka ketika hari jumat tiba, ketujuh putri raja yang cantik-cantik tersebut datang dengan baju terbang mereka hendak mandi di sungai. Usai berganti pakaian, mereka lalu turun ke sungai. Mereka berenang sambil tertawa bersuka ria.

Ketika hari menjelang sore, ketujuh putri raja pun selesai mandi. Mereka pun segera mengenakan baju terbang masing-masing lalu terbang ke angkasa. Mak Toyo pun segera turun ke sungai lalu menepuk air tiga kali. Setelah itu, muncullah bunga bangkawali di atas permukaan air sungai. Banta Seudang pun segera terjun ke dalam sungai. Dengan susah payah, ia berenang ke tengah sungai untuk mengambil bunga bangkawali tersebut. Setelah mendapatkan bunga bangkawali tersebut, Banta Seudang kembali berenang menuju ke tepi sungai.

“Mak Toyo! Aku sudah mendapatkan bunga bangkawali. Terima atas kebaikan, Mak!” ucap Banta Seudang.

“Ya, sama-sama. Segeralah bawa bunga ajaib itu untuk Ayahmu!” kata Mak Toyo.

Keesokan harinya, Banta Seudang berpamitan kepada Mak Toyo dan Jin Pari. Namun karena mengetahui yang akan ditempuh Banta Seudang sangat jauh dan membutuhkan waktu yang cukup lama, maka Maka Toyo dan Jin Pari pun bersepakat untuk mengantar Banta Seudang. Jin Pari dan Banta Seudang terbang dengan menggunakan baju terbang, sedangkan Mak Toyo menunggangg gajah putih. Dalam waktu sehari, mereka pun tiba di negeri Banta Seudang. Mereka tiba ketika hari mulai sudah gelap. Banta Seudang melihat rumahnya sepi dan tampak gelap.

“Ayah, Ibu! Banta pulang membawa obat mata untuk Ayah!” teriak Banta Seudang memanggil kedua orangtuanya.

“Ya, masuklah Anakku! Ibu sedang sibuk memperbaiki lampu minyak,” teriak sang Ibu.

Banta Seudang pun masuk ke dalam rumah bersama Mak Toyo dan Jin Pari.

“Kenapa gelap begini? Kenapa dengan lampu minyaknya, Bu?” tanya Banta.

“Lampunya kehabisan minyak. Ibu baru mengisinya,” jawab sang Ibu.

Beberapa saat kemudian, lampu minyaknya pun menyala. Sang Ibu segera memeluk Banta Seudang karena sudah lama sekali merindukannya. Banta Seudang pun memperkenalkan Mak Toyo dan Jin Pari kepada kedua orangtuanya.

“Bu, ini Mak Toyo dan Jin Pari. Merekalah yang telah membantu Banta mendapatkan obat mata untuk Ayah,” jelas Banta Seudang.

Ibu Banta Seudang pun tidak lupa berterima kasih kepada Mak Toyo dan Jin Pari yang telah membantu Banta Seudang.

“Bagaimana keadaan Ayah dan Ibu selama Banta pergi?” Banta Seudang kembali bertanya.

Mendengar pertanyaan Banta, sang Ibu terdiam sejenak. Dengan wajah sedih, sang Ibu kemudian bercerita bahwa selama kepergian Banta Seudang, Pakciknya tidak pernah membantu mereka lagi. Terpaksalah sang Ibu harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan mereka. Betapa sedih dan terharunya Banta Seudang mendengar cerita sang Ibu.

“Iya, Anakku! Pakcikmu memang sungguh keterlaluan dan tidak tahu diri. Sejak kamu pergi, dia tidak pernah lagi memberi kami makanan. Seandainya Ayah tidak buta begini, Ayah pasti sudah menghajarnya,” sahut sang Ayah dengan geram.

“Sabarlah, Ayah! Banta membawakan obat mata untuk Ayah,” kata Banta menenangkan hati sang Ayah.

Setelah keadaan tenang, Banta Seudang segera mengambil semangkuk air, lalu mencelupkan bunga bangkawali yang ia bawa ke dalam mangkuk. Setelah beberapa saat, ia mengusapkan air dari mangkuk itu ke mata ayahnya hingga tiga kali.

“Ayah! Cobalah buka mata Ayah pelan-pelan!” pinta Banta Seudang.

Sang Ayah pun pelan-pelan membuka matanya. Sungguh ajaib, matanya dapat melihat seketika. Alangkah bahagianya sang Ayah dapat melihat wajah putranya.

“Sejak kamu dilahirkan, barulah kali ini Ayah bisa melihat wajahmu, Anakku! Ayah sangat bangga padamu. Berkat usaha dan perjuanganmu, mata Ayah dapat melihat kembali seperti semula,” ucap sang Ayah seraya merangkul Banta Seudang.

“Seharusnya, Ayah berterima kasih kepada Mak Toyo dan Jin Pari, karena merekalah yang telah membantu Banta mendapatkan bunga bangkawali itu,” kata Banta Seudang.

Setelah berterima kasih kepada Mak Toyo dan Jin Pari, sang Ayah pun berniat untuk merebut kembali kekuasaannya dari tangan adiknya.

“Ketahuilah, Anakku! Sebenarnya, Ayah adalah Raja negeri ini. Sejak mata Ayah buta akibat terkena ranting kayu ketika berburu di hutan, kerajaan Ayah serahkan kepada Pakcikmu. Namun, ketika menjadi Raja, Pakcikmu telah lupa diri dan mencampakkan kita,” ungkap sang Ayah.

Betapa terkejutnya Banta Seudang mendengar penjelasan ayahnya. Ia baru mengerti bahwa ternyata ayahnya adalah seorang raja. Selama ini ia mengira bahwa pakciknya adalah seorang raja yang baik, karena telah memenuhi kebutuhan keluarganya. Namun, ternyata pakciknya adalah seorang raja yang licik dan serakah. Mengetahui keadaan yang sebenarnya, Bangka Seudang pun berniat untuk membantu ayahnya untuk mengembalikan tahta kerajaan kepada ayahnya. Demikian pula Mak Toyo dan Jin Pari, setelah mendengar cerita ayah Banta Seudang, mereka pun siap untuk membantu.

Keesokan harinya, mereka pun berangkat ke istana. Ayah dan ibu Banta Seudang terbang bersama Jin Pari dengan menggunakan baju terbang. Sedangkan Banta Seudang dan Mak Toyo menunggang gajah putih. Sesampainya di istana, alangkah terkejutnya sang Raja saat melihat kedatangan sang Kakak bersama rombongannya. Apalagi setelah mengetahui kedua mata kakaknya dapat melihat kembali.

“Apa maksud kedatangan Kakak kemari?” tanya sang Raja.

“Hai, Adik! Engkau memang Adikku yang tidak tahu diri. Kakak berikan tahta kerajaan ini untuk sementara, tapi Engkau malah mencampakkan Kakak bersama permaisuri dan putraku selama bertahun-tahun. Kini saatnya Kakak harus mengambil kembali tahta kerajaan ini!” seru sang Kakak.

“Ha... ha... ha...! Akulah penguasa negeri ini. Tidak akan ada yang bisa menggantikanku sebagai Raja. Aku memiliki banyak pengawal dan prajurit. Tapi, kalau Kakak berani merebut kembali tahta ini, hadapi dulu para pengawal dan prajuritku!” seru sang Raja sambil tertawa terbahak-bahak dengan angkuhnya.

Mak Toyo dan Jin Pari yang juga hadir di tempat itu sangat geram melihat keangkuhan sang Raja. Oleh karena mereka mengetahui permasalahan yang sebenarnya, maka tanpa diperintah ayah Banta Seudang, mereka langsung menyerang sang Raja. Dengan satu pukulan saja, sang Raja pun jatuh tersungkur tidak sadarkan diri di depan singgasananya. Para pengawal raja yang melihat peristiwa itu, tak seorang pun yang mau membantu sang Raja, karena mereka juga mengetahui keadaan sebenarnya.

Ketika sadarkan diri, sang Raja bersama keluarganya diusir dari istana. Ayah Banta Seudang pun kembali menjadi raja menggantikan adiknya yang serakah dan angkuh itu. Akhirnya, Banta Seudang bersama keluarganya kembali tinggal di istana dan ia pun bisa bersekolah. Sementara Mak Toyo dan Jin Pari diangkat sebagai pengawal istana.

* * *

Demikian cerita Banta Seudang dari Daerah Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada tiga pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu keutamaan sifat berbakti kepada orangtua, ganjaran yang diperoleh dari suka bekerja keras dan akibat buruk dari sifat tidak tahu diri.

Pertama, keutamaan sifat berbakti kepada orangtua. Sifat ini ditunjukkan oleh sifat dan perilaku Banta Seudang yang telah berusaha menyembuhkan mata ayahnya. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

apa tanda Melayu jati,
kepada ibu bapa ia berbakti

apa tanda Melayu menakah,
memelihara ibu bapa tahan bersusah

Kedua, ganjaran yang diperoleh dari suka bekerja keras. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku Banta Seudang. Berkat kerja keras dan kesungguhannya, ia berhasil menyembuhkan mata ayahnya. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

wahai ananda kesayangan ayah,
bekerja jangan ingatkan susah
tahankan olehmu penat dan lelah
supaya kelak hidupmu menakah

Ketiga, akibat buruk dari sifat tidak tahu diri. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku Pakcik Banta Seudang. Ia diberi kekuasaan untuk menduduki tahta kerajaan, malah justru mengabaikan kakaknya. Akibatnya, ia pun diusir dari istana ketika mata kakaknya sembuh dari kebutaan. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

apa tanda orang celaka,
tak tahu diri besar kepala
bila bercakap mengada-ada
bila bekerja tidak menyudah

apa tanda orang terbuang,
tak tahu diri iman pun kurang
bergaul tidak tahu menenggang
berjalan seiring ia menendang

Sumber: Ceritaasliindonesia

Tujuh Anak Lelaki (NAD)


Tujuh anak lelaki dalam cerita ini adalah tujuh orang bersaudara yang dilahirkan oleh sepasang suami-istri di sebuah kampung di daerah Nanggro Aceh Darussalam, Indonesia. Ketujuh anak lelaki tersebut sungguh bernasib malang. Ketika masih kecil, mereka dibuang oleh kedua orangtua mereka ke tengah hutan jauh dari perkampungan. Mengapa ketujuh anak lelaki itu dibuang oleh kedua orangtua mereka? Lalu, bagaimana nasib mereka selanjutnya? Ikuti kisahnya dalam cerita Tujuh Anak Lelaki berikut ini!

Alkisah, di sebuah kampung di daerah Nanggro Aceh Darussalam, ada sepasang suami-istri yang mempunyai tujuh orang anak laki-laki yang masih kecil. Anak yang paling tua berumur sepuluh tahun, sedangkan yang paling bungsu berumur dua tahun. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, sepasang suami-istri itu menanam sayur-sayuran untuk dimakan sehari-hari dan sisanya dijual ke pasar. Meskipun serba pas-pasan, kehidupan mereka senantiasa rukun, damai, dan tenteram.

Pada suatu waktu, kampung mereka dilanda musim kemarau yang berkepanjangan. Semua tumbuhan mati karena kekeringan. Penduduk kampung pun mulai kekurangan makanan. Persediaan makanan mereka semakin hari semakin menipis, sementara musim kemarau tak kunjung usai. Akhirnya, seluruh penduduk kampung menderita kelaparan, termasuk keluarga sepasang suami-istri bersama tujuh orang anaknya itu.

Melihat keadaan tersebut, sepasang suami-istri tersebut menjadi panik. Tanaman sayuran yang selama ini menjadi sumber penghidupan mereka tidak lagi tumbuh. Sementara mereka tidak mempunyai pekerjaan lain kecuali menanam sayur-sayuran di kebun. Mereka sudah berpikir keras mencari jalan keluar dari kesulitan tersebut, namun tidak menemukan jawabannya. Akhirnya, mereka bersepakat hendak membuang ketujuh anak mereka ke sebuah hutan yang letaknya jauh dari perkampungan.

Pada suatu malam, saat ketujuh anaknya sedang tertidur pulas, keduanya bermusyawarah untuk mencari cara membuang ketujuh anak mereka.

“Bang! Bagaimana caranya agar tidak ketahuan anak-anak?” tanya sang Istri bingung.

“Besok pagi anak-anak kita ajak pergi mencari kayu bakar ke sebuah hutan yang letaknya cukup jauh. Pada saat mereka beristirahat makan siang, kita berpura-pura mencari air minum di sungai,” jelas sang Suami.

“Baik, Bang!” sahut sang Istri sepakat.

Tanpa mereka sadari, rupanya anak ketiga mereka yang pada waktu itu belum tidur mendengar semua pembicaraan mereka.

Keesokan harinya, sepasang suami-istri itu mengajak ketujuh putranya ke hutan untuk mencari kayu bakar. Sesampainya di hutan yang terdekat, sang Ayah berkata kepada mereka:

“Anak-anakku semua! Sebaiknya kita cari hutan yang luas dan banyak pohonnya, supaya kita bisa mendapatkan kayu bakar yang lebih banyak lagi,” ujar sang Ayah.

“Baik, Ayah!” jawab ketujuh anak lelaki itu serentak.

Setelah berjalan jauh, sampailah mereka di sebuah hutan yang amat luas. Alangkah gembiranya mereka, karena di hutan itu terdapat banyak kayu bakar. Mereka pun segera mengumpulkan kayu bakar yang banyak berserakan. Ketika hari menjelang siang, sang Ibu pun mengajak ketujuh anaknya untuk beristirahat melepas lelah setelah hampir setengah hari bekerja.

Pada saat itulah, sepasang suami istri itu hendak mulai menjalankan recananya ingin meninggalkan ketujuh anak mereka di tengah hutan itu.

“Wahai anak-anakku! Kalian semua beristirahatlah di sini dulu. Aku dan ibu kalian ingin mencari sungai di sekitar hutan ini, karena persediaan air minum kita sudah habis,” ujar sang Ayah.

“Baik, Ayah!” jawab ketujuh anak itu serentak.

“Jangan lama-lama ya, Ayah... Ibu...!’” sahut si Bungsu.

“Iya, Anakku!” jawab sang Ibu lalu pergi mengikuti suaminya.

Sementara itu, setelah menunggu beberapa lama dan kedua orangtua mereka belum juga kembali, ketujuh anak itu mulai gelisah. Mereka cemas kalau-kalau kedua orangtua mereka mendapat musibah. Akhirnya, si sulung pun mengajak keenam adiknya untuk pergi menyusul kedua orangtua mereka. Namun, sebelum meninggalkan tempat itu, anak ketiga tiba-tiba angkat bicara.

“Abang! Tidak ada gunanya kita menyusul ayah dan ibu. Mereka sudah pergi meninggalkan kita semua,” kata anak ketiga.

“Apa maksudmu, Dik?” tanya si Sulung.

“Tadi malam, saat kalian sudah tertidur nyenyak, aku mendengar pembicaraan ayah dan ibu. Mereka sengaja meninggalkan kita di tengah hutan ini, karena mereka sudah tidak sanggup lagi menghidupi kita semua akibat kemarau panjang,” jelas anak ketiga.

“Kenapa hal ini baru kamu ceritakan kepada kami?” tanya anak kedua.

“Aku takut ayah dan ibu murka kepadaku, Bang,” jawab anak ketiga.

Akhirnya ketujuh anak itu tidak jadi pergi menyusul kedua orangtuanya, apalagi hari sudah mulai gelap. Mereka pun segera mencari tempat perlindungan dari udara malam. Untungnya, tidak jauh dari tempat mereka berada, ada sebuah pohon besar yang batangnya berlubang seperti gua. Mereka pun beristirahat dan tidur di dalam lubang kayu itu hingga pagi hari.

“Bang! Apa yang harus kita lakukan sekarang? Ke mana kita harus pergi?” tanya si anak kedua.

“Kalian tunggu di sini! Aku akan memanjat sebuah pohon yang tinggi. Barangkali dari atas pohon itu aku dapat melihat kepulan asap. Jika ada, itu pertanda bahwa di sana ada perkampungan,” kata si Sulung.

Ternyata benar, ketika berada di atas pohon, si Sulung melihat ada kepulan asap dari kejauhan. Ia pun segera turun dari pohon dan mengajak keenam adiknya menuju ke arah kepulan asap tersebut. Setelah berjalan jauh, akhirnya sampailah mereka di sebuah perkampungan. Alangkah terkejutnya mereka ketika melihat sebuah rumah yang sangat besar berdiri tegak di pinggir kampung.

“Hei lihatlah! Besar sekali rumah itu,” seru anak keempat.

“Waaahhh... jangan-jangan itu rumah raksasa,” sahut anak keenam.

Baru saja kata-kata itu terlepas dari mulutnya, tiba-tiba terdengar suara keras dari dalam rumah itu meminta mereka masuk ke dalam rumah. Beberapa saat kemudian, penghuni rumah itu pun keluar. Rupanya, dia adalah raksasa betina.

“Hei, anak manusia! Kalian siapa?” tanya Raksasa Betina itu.

“Kami tersesat, Tuan Raksasa! Orang tua kami meninggalkan kami di tengah hutan,” jawab si Sulung.

Mendengar keterangan itu, tiba-tiba si Raksasa Betina merasa iba kepada mereka. Ia pun segera mengajak mereka masuk ke dalam rumahnya, lalu menghidangkan makanan dan minuman kepada mereka. Oleh karena sudah kelaparan, ketujuh anak itu menyantap makanan tersebut dengan lahapnya.

“Habiskan cepat makanan itu, lalu naik ke atas loteng! Kalau tidak, kalian akan dimakan oleh suamiku. Tidak lama lagi ia datang dari berburu,” ujar Raksasa Betina.

Oleh karena takut dimakan oleh Raksasa Jantan, mereka pun segera menghabiskan makanannya lalu bergegas naik ke atas loteng untuk bersembunyi. Tidak lama kemudian, Raksasa Jantan pun pulang dari berburu. Ketika membuka pintu rumahnya, tiba-tiba ia mencium bau makanan enak.

“Waaahhh... sedapnya!” ucap raksasa jantan sambil menghirup bau sedap itu.

“Bu! Sepertinya ada makanan enak di rumah ini. Aku mencium bau manusia. Di mana kamu simpan mereka?” tanya Raksasa Jantan kepada istrinya.

“Aku menyimpan mereka di atas loteng. Tapi mereka masih kecil-kecil. Biarlah kita tunggu mereka sampai agak besar supaya enak dimakan,” jawab Raksasa Betina.

Si Raksasa Jantan pun menuruti perkataan istrinya. Selamatlah ketujuh anak itu dari ancaman Raksasa Jantan. Keesokan harinya, ketika si Raksasa Jantan kembali berburu binatang ke hutan, si Raksasa Betina pun segera menyuruh ketujuh anak lelaki itu pergi. Namun, sebelum mereka pergi, ia membekali mereka makanan seperlunya selama dalam perjalanan. Bahkan, si Raksasa Betina yang baik itu membekali mereka dengan emas dan intan.

“Bawalah emas dan intan ini, semoga bermanfaat untuk masa depan kalian,” kata Raksasa Betina.

“Terima kasih, Raksasa Jantan! Tuan memang raksasa yang baik hati,” ucap si Sulung seraya berpamitan.

Setelah berjalan jauh menyusuri hutan lebat, menaiki dan menuruni gunung, akhirnya tibalah mereka di tepi pantai. Mereka pun segera membuat perahu kecil lalu berlayar mengarungi lautan luas. Setelah beberapa lama berlayar, tibalah mereka di sebuah negeri yang diperintah oleh seorang raja yang adil dan bijaksana. Di negeri itu mereka menjual semua emas dan intan pemberian raksasa kepada seorang saudagar kaya. Hasil penjualan tersebut, mereka gunakan untuk membeli tanah perkebunan. Masing-masing mendapat tanah perkebunan yang cukup luas. Ketujuh bersaudara itu sangat rajin bekerja dan senantiasa saling membantu.

Beberapa tahun kemudian, mereka pun telah dewasa. Berkat kerja keras selama bertahun-tahun, akhirnya mereka memiliki harta kekayaan yang banyak. Kemudian masing-masing dari mereka membuat rumah yang cukup bagus. Ketujuh lelaki itu pun hidup damai, tenteram dan sejahtera.

Pada suatu hari, si Bungsu tiba-tiba teringat dan merindukan kedua orangtuanya. Ia pun segera mengundang keenam kakaknya datang ke rumahnya untuk bersama-sama pergi mencari kedua orangtua mereka.

“Maafkan aku, Kakakku semua! Aku mengundang kalian ke sini, karena ingin mengajak kalian untuk pergi mencari ayah dan ibu. Aku sangat merindukan mereka, dan aku yakin, mereka pasti masih hidup,” ungkap si Bungsu kepada saudara-saudaranya.

“Iya, Adikku! Kami juga merasakannya seperti itu. Kami sangat rindu kepada ayah dan ibu yang telah melahirkan kita semua,” tambah anak keenam.

“Baiklah kalau begitu! Besok pagi kita bersama-sama pergi mencari mereka. Apakah kalian setuju?” tanya si Sulung.

“Setuju!” jawab keenam adiknya serentak.

Keesokan harinya, berangkatlah ketujuh orang bersaudara itu mencari kedua orangtua mereka. Setelah berlayar mengarungi lautan luas, tibalah mereka di sebuah pulau. Di pulau itu, mereka berjalan dari satu kampung ke kampung lain. Sudah puluhan kampung mereka datangi, namun belum juga menemukannya. Hingga pada suatu hari, mereka pun menemukan kedua orangtua mereka di sebuah kampung dalam keadaan menderita. Ketujuh orang bersaudara itu sangat sedih melihat kondisi kedua orangtua mereka. Akhirnya, mereka membawa orangtua mereka ke tempat tinggal mereka untuk hidup dan tinggal bersama di rumah yang bagus.

Sejak itu, kedua orangtua itu berkumpul kembali dan hidup bersama dengan ketujuh orang anaknya. Mereka senantiasa menyibukkan diri beribadah kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Segala keperluannya sudah dipenuhi oleh ketujuh orang anaknya yang sudah cukup kaya.

***

Demikian cerita Tujuh Anak Laki-Laki dari daerah Provinsi Nanggro Aceh Darussalam, Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah keutamaan sifat mandiri. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku ketujuh anak laki-laki tersebut. Mereka senantiasa bekerja keras, menggarap lahan perkebunan mereka, sehingga mendapatkan hasil yang melimpah dan menjadi orang yang kaya di kampungnya. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

wahai ananda dengarlah manat,
tunjuk dan ajar hendaklah ingat
bulatkan hati teguhkan semangat
supaya hidupmu beroleh rahmat

Pelajaran lain yang dapat dipetik adalah keutamaan sifat pandai membalas budi. Hal ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku ketujuh anak laki-laki tersebut. Meskipun kedua orangtua mereka telah membuangnya ke tengah hutan, mereka tidak pernah berputus asa untuk mencari orangtua yang telah melahirkan mereka. Dikatakan dalam ungkapan tunjuk ajar Melayu:

apa tanda Melayu pilihan,
membalas budi ia utamakan

Sumber: Ceritaasliindonesia