Kain tenun Doyo (https://budaya-indonesia.org)
Tenun doyo adalah kain tradisional hasil tangan kaum perempuan suku Dayak Benuaq di Tanjung Isuy (ibukota Kecamatan Jempang), Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur. Tenun yang terbuat dari serat tanaman doyo ini biasa dipakai oleh suku Dayak Benuaq dalam upacara-upacara adat dan digunakan sebagai mahar pada upacara perkawinan.
Sejak berabad-abad yang silam, suku Dayak Benuaq dikenal sebagai perajin tenun doyo. Namun, tidak diketahui secara pasti sejak kapan mereka mulai mengembangkan seni kriya ini hingga ke daerah Tanjung Isuy, Kabupaten Kutai Barat. Beberapa sumber mengatakan bahwa tenun doyo sebelumnya pernah berkembang di dalam suku Ot Danum dari Kalimantan Selatan (Usman Achmad, et al., 1994/1995:12). Menurut Widjono (1998:77), suku Ot Danum termasuk dalam keluarga Barito. Namun, karena tanaman doyo
(curculigo latifolia lend) sebagai bahan untuk membuat tenun doyo semakin sukar didapatkan menyebabkan sebagian dari suku Ot Danum pindah ke daerah Kalimantan Tengah (Achmad, et al., 1994/1995:11). Mereka itulah kemudian dikenal dengan suku Lewangan atau suku Luangan.
Kain tenun Doyo atau Ulap Doyo (https://www.indonesiakaya.com)
Suku Lewangan tidak begitu lama menetap di Kalimantan Tengah karena tanaman doyo sukar untuk dikembangkan di daerah tersebut. Suku Lewangan kemudian pindah lagi ke daerah Kalimantan Timur dengan melewati alur-alur sungai dan daerah pegunungan (Dalmasius Madrah T., 2002:4). Mereka inilah yang kemudian dikenal sebagai suku Dayak Benuaq. Suku Dayak Benuaq sebagian besar menempati daerah-daerah yang ada di Kabupaten Kutai Barat, khususnya Kecamatan Jempang. Di kecamatan ini, mereka tersebar lagi ke beberapa desa seperti Tanjung Isuy, Pentat, Muara Nayan, dan Lempunah. Tanjung Isuy yang merupakan ibukota Kecamatan Jempang adalah desa yang paling dikenal sebagai sentral industri rumah tangga tenun doyo di daerah Kalimantan Timur. Sejak akhir 1970-an, desa ini ramai dikunjungi oleh para wisatawan domestik maupun mancanegara untuk berbelanja kain tenun doyo. Tenunan khas suku Dayak Benuaq ini digemari oleh wisatawan karena motif dan bahannya yang alami.
Bahan BakuBahan baku yang digunakan untuk membuat tenun doyo diambil dari serat daun tanaman doyo. Maka sebab itulah tenun ini dinamakan dengan tenun doyo. Serat daun doyo diperoleh dengan cara memotong daun tanaman doyo sepanjang 1-1,5 meter, lalu direndam ke dalam air sungai hingga daging daun hancur. Setelah itu, daun yang telah hancur dikerik dengan menggunakan sebilah pisau bambu untuk memisahkannya dari tulang tengah daun doyo sehingga yang tersisa hanya seratnya. Serat itulah yang dibuat benang oleh kaum perempuan suku Dayak Benuaq untuk ditenun, dan kemudian diolah menjadi destar (
laukng), baju atau kemeja, celana pendek, kopiah, dompet, tas, hiasan dinding, dan lain sebagainya.
Tanaman doyo yang banyak tumbuh di daerah tersebut memiliki beberapa varietas dan ciri-ciri yang berbeda. Suku Dayak Benuaq menggolongkan tanaman doyo ke dalam 6 (enam) varietas. Namun, dua dari keenam variates tersebut tidak dapat dijadikan sebagai bahan tenun karena tidak memiliki serat. Oleh karena itu, variates yang akan disebutkan berikut ini hanya yang memiliki serat untuk dijadikan sebagai bahan tenun, yaitu:
Tanaman Doyo (curculigo latifolia lend) - https://balitbangda.kutaikartanegarakab.go.id/
Doyo temoyoMerupakan varietas tanaman doyo yang paling baik (nomor 1). Ciri-cirinya adalah bentuk daunnya agak langsing dan melengkung, berwarna hijau muda, dan urat daunnya tidak terlalu keras. Varietas ini terdapat di Desa Mencong dan Desa Perigi, Kecamatan Jempang.
Doyo pentih Serat
doyo pentih hampir sama dengan serat
doyo temoyo. Hanya warna daun dan tangkainya yang membedakan kedua varietas tersebut. Daun doyo
pentih berwarna hijau kekuningan dan lebih tahan terhadap sinar matahari.
Doyo biangUkuran daun dan tangkai daun
doyo biang ini lebih panjang dan lebih lebih dari
doyo temoyo dan
doyo pentih. Panjang daun varietas ini bisa mencapai 150 cm dan lebar 25 cm, sedangkan panjang tangkai daun bisa mencapai 113 cm.
Doyo tulangUkuran daun
doyo tulang lebih kecil daripada
doyo biang dan
doyo pentih. Namun, daun varietas ini agak tegak dan lentur karena tulangnya lebih keras. Oleh karena itu, serat daunnya akan pecah-pecah ketika dikerik (Achmad, et al., 1994/1995:15-16).
Selain keempat varietas tanaman doyo tersebut di atas, para perajin di Tanjung Isuy juga menggunakan benang katun, serat nanas, dan bahan-bahan tekstil lainnya sebagai kombinasi kain tenun doyo sehingga proses pembuatannya lebih cepat. Penggunaan bahan-bahan tekstil selain tanaman doyo tersebut tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh yang datang dari luar.
WarnaPada dasarnya, warna asli serat doyo untuk bahan tenun adalah berwarna putih atau krem. Agar warna kain tenun doyo menjadi bervariasi dengan motif-motif yang indah, maka digunakan berbagai jenis bahan pewarna. Adapun jenis warna dan bahan pewarna yang biasa digunakan dalam tenun doyo adalah sebagai berikut:
Warna HitamWarna ini diperoleh dari asap hasil pembakaran damar yang dicampur dengan cairan pekat. Selain itu, bahan pewarna hitam juga dapat diperoleh dari daun pohon
kebuau yang sudah tua. Serat daun
kebuau tersebut direbus bersama dengan serat daun doyo sehingga serat tersebut menjadi berwarna hitam.
Warna merah Bahan pewarna merah untuk tenun doyo terdiri dari tiga macam, yaitu:
1. Batu alam atau
batu lado.
Batu alam yang diperoleh dari Sungai Lawa Bentian Besar di daerah Tanjung Isuy ini hanya merupakan alat untuk memberi warna merah pada tenun. Caranya adalah batu ini digosokkan pada piring putih dengan sedikit campuran air, kemudian dicoletkan pada benang tenun.
2. Biji buah glinggam
(annatto bixa orellana) yang agak tua.
Caranya adalah beberapa biji buah glinggam yang telah dicampur dengan air diremas di dalam mangkuk hingga mengeluarkan cairan berwarna merah kental. Setelah itu, cairan berwarna merah tersebut dioleskan atau dicoletkan pada benang tenun.
3. Kulit batang
pohon uarKulit pohon ini dikupas dan dipotong-potong, kemudian ditumbuk hingga air getahnya keluar, dan selanjutnya direndam selama satu malam hingga airnya menjadi merah tua. Setelah itu, serat daun doyo direndam dalam air getah kulit uar selama beberapa jam hingga serat tersebut menjadi merah.
Buah Glinggam untuk pewarna merah pada tenun doyo
Warna hijauWarna ini dapat diperoleh dari daun putri malu
(aminosa pudica) dengan cara terlebih dahulu dilumatkan, kemudian direbus hingga berwarna hijau kental, dan selanjutnya dioleskan pada benang tenun.
Warna kuningWarna ini diambil dari umbi kunyit
(curcuma longa) dengan cara diparut dan diberi air sedikit, kemudian diperas hingga mengeluarkan cairan berwarna kuning kental, dan selanjutnya dioleskan pada benang tenun.
Warna coklatWarna ini diperoleh dari akar kayu
oter dengan cara diambil getahnya dan kemudian dioleskan pada benang tenun (Achmad, et al., 1994/1995:22-23).
Dewasa ini, para perajin sudah banyak yang menggunakan bahan sepuhan kue sebagai bahan pewarna dan cat warna
rhodamine (I.C.I.) untuk pencelupan benang tenun. Hanya saja cat warna yang juga biasa digunakan sebagai bahan pewarna makanan ini daya tahannya terhadap air sangat rendah.
Ragam Hias (Motif)Doyo atau Ulap Doyo juga pas untuk kalangan anak-anak dan remaja
Ragam hias pada kain tenun doyo pada umumnya hampir sama dengan ragam hias yang diterapkan pada kain tenun di daerah lain di Nusantara. Motif-motif yang paling menonjol pada tenun doyo adalah motif dengan gaya swastika, misalnya pada motif
timang atau harimau (Achmad, et al., 1994/1995:29). Motif dengan gaya swastika pada tenun doyo diperkirakan mendapat pengaruh dari tenunan Gujarat, India, yang dibawa oleh para pedagang-pedagang Islam yang datang ke Indonesia hingga sampai ke daerah Kalimantan (Achmad, et al., 1994/1995:11). Kini, tenun doyo memiliki puluhan jenis ragam hias atau motif yang sudah banyak dikenal oleh masyarakat luas. Ragam hias atau motif-motif tersebut adalah sebagai berikut:
- Motif naga, yaitu melambangkan keayuan seorang wanita
- Motif limar atau perahu, yaitu lambang kerja sama dalam usaha. Perahu dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Dayak Benuaq merupakan alat transportasi yang di sungai dan di danau
- Motif kimas atau ikan, yaitu bermakna sebagai suatu pertanda atau peringatan berupa nasehat dari leluhur kepada generasi penerusnya.
- Motif timang atau harimau, yaitu melambangkan keperkasaan seorang pria.
- Motif tangga tukar toray atau tangga rebah atau terbalik, yaitu bermakna melindungi usaha dan kerjasama dalam masyarakat.
- Motif tipak mening knowala atau gigi graham, yaitu melambangkan peran orangtua dalam suatu kerjasama atau bermasyarakat.
- Motif timang nuat atau harimau yang tunduk, yaitu melambangkan suatu harapan agar keperkasaan atau keberanian seseorang tidak boleh lemah atau pudar.
- Motif timang sesat sungkar atau tangga harimau, yaitu melambangkan agar kerjasama dan usaha masyarakat harus senantiasa tegar dan berani untuk mencapai cita-cita.
- Motif tengkulut tongau atau patung, yaitu sebagai lambang kepercayaan masyarakat setempat tentang kehidupan di alam lain setelah manusia mengalami kematian. Oleh karena itu, patung itu memegang peranan penting dalam upacara kwangkai
- Motif brabang atau senduk yang bersusun-susun, yaitu melambangkan kemewahan dan kesenangan seseorang.
- Motif upak talang atau kulit bambu, yaitu melambangkan kesuburan
- Motif wahi nunuk atau akar pohon beringin, yaitu melambangkan keberhasilan suatu pekerjaan yang tergantung pada kerjasama di dalam masyarakat.
- Motif tempaku atau pinggiran tenun yang berbentuk tumpal, yaitu melambangkan keberhasilan yang sempurna suatu usaha.
- Motif tekulut atau katak, yaitu melambangkan akhir dari suatu pekerjaan.
- Motif tekuran atau titik-titik hujan, yaitu melambangkan kesuburan lingkungan si perajin tenun.
- Motif tapus tongan atau kembang anggrek, yaitu melambangkan kesuburan generasi muda untuk mencapai cita-cita.
- Motif rakang atau kembang penggerek kelapa, yaitu melambangkan suatu masalah kecil yang lama-kelamaan akan membawa petaka besar.
- Motif pupu atau kupu-kupu, yaitu melambangkan harapan dan kesuburan.
- Motif pucuk rebun atau bambu muda, yaitu melambangkan kekuatan dari dalam dan secara abstrak menggambarkan manusia itu sendiri (Achmad, et al., 1994/1995:30-34).