Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Candi Hindu - Candi Kidal



Candi Hindu - Candi Kidal - Tahukah kalian tentang Kerajaan Singhasari?? Sedikit mengingatkan Kerajaan Singhasari adalah sebuah kerajaan di Jawa Timur yang didirikan oleh Ken Arok pada tahun 1222. Lokasi kerajaan ini sekarang diperkirakan berada di daerah Singosari, Malang.  Kerajaan Singhasari banyak meninggalkan bangunan monumental (candi). Salah satu candi yang diwariskan oleh Kerajaan Singhasari adalah Candi Kidal.


Candi kidal adalah Candi Hindu (siwa) yang terletak di desa Rejo, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang. Candi ini dibangun sebagai bentuk penghormatan atas jasa besar Raja Anusapati, Raja kedua dari Singhasari, yang meninggal pada tahun 1248 dan memerintah selama 20 tahun (1227 - 1248).
Nama kidal sendiri memiliki arti yang mengandung dua pengertian. Pertama, mempunyai arti Raja Anusapati adalah pengikut Siwa yang lazim dianut oleh masyarakat Singhasari kala itu. Kedua, bahwa sang Anusanatha adalah anak tiri dari Ken Arok Sang Amurwabhumi, ia adalah anak Ken Dedea dengan Akuwu Tunggul Ametung. Namnun sebuah rahasia terungkap kalau nama kidal diduga berasal dari cara pembacaan relief yang tidak lazim di Candi Kidal. Pada umumnya, pembaca relief dilakukan dengan cara Pradaksina (menganankan candi/ searah jarum jam), tetapi di Candi Kidal dilakukan dengan cara Prasawija(mengiringkan Candi/ berlawanan dengan arah jarum jam). Dalam jawa kuno bermakna kiri. Bangunan candi seluruhnya terbuat dari batu andesit dan berdimensi geometris vertikal. Di sekeliling halaman candi terdapat susunan batu yang berfungsi sebagai pagar. Tubuh candi berdiri diatas batur (kaki candi) setinggi sekitar 2 m. Untuk mencapai selasar di lantai kaki candi dibuat tangga batu tepat di depan pintu. Yang menarik, anak tangga dibuat tipis-tipis, sehingga dari kejauhan tampak seperti bukan tangga masuk yang sesungguhnya. Tangga batu ini tidak dilengkapi pipi tangga berbentuk ukel, sebagaimana yang banyak dijumpai di candi lainnya, namun di kiri-kanan anak tangga pertama terdapat badug (tembok rendah) berbentuk siku yang menutup sisi samping dan sebagian sisi depan kaki tangga. Badug semacam ini tidak terdapat di candi lain.


Pintu candi menghadap ke barat, dilengkapi dengan bilik dengan hiasan kalamakara (kepala Kala) di atas ambangnya. Hiasan kepala kala yang nampak menyeramkan dengan matanya melotot penuh, mulut terbuka serta 2 taring besar dan bengkok, memberi kesan dominan. Adanya 2 taring tersebut juga merupakan ciri khas candi Jawa Timur. Disudut kiri dan kanan terdapat jari tangan dengan mudra (sikap) mengancam, sehingga sempurnalah kesan seram yang patut dimiliki oleh makhkuk penjaga bangunan suci candi. Di kiri dan kanan pintu terdapat relung kecil tempat meletakkan arca yang dilengkapi dengan bentuk 'atap' di atasnya. Di atas ambang relung-relung ini juga terdapat hiasan kalamakara.


Atap Candi Kidal berebentuk kotak bersusun tiga, makin ke atas makin mengecil. Puncaknya tidak runcing, melainkan persegi dengan permukaan yang cukup luas. Puncak atap tidak dihiasi dengan ratna atau stupa, melainkan hanya datar saja. Sekeliling tepi masing-masing lapisan dihiasi dengan ukiran bunga dan sulur-suluran. Konon dulu di setiap sudut lapisan atap candi dipasang sebuah berlian kecil. Sekeliling kaki candi dihiasi dengan pahatan bermotif medalion yang berjajar diselingi bingkai bermotif bunga dan sulur-suluran. Di kiri dan kanan pangkal tangga serta di setiap sudut yang menonjol ke luar terdapat patung binatang yang terlihat mirip singa dalam posisi duduk seperti manusia dengan satu tangan terangkat ke atas. Patung-patung ini terlihat seperti sedang menyangga pelipit atas kaki candi yang menonjol keluar dari selasar.
Tubuh candi dapat dikatakan ramping, sehingga selasar di kaki candi cukup lebar. Dalam tubuh candi terdapat ruangan yang tidak terlalu luas. Saat ini ruangan tersebut dalam keadaan kosong. Dinding candi juga dihiasi dengan pahatan bermotif medalion. Pada dinding di sisi samping dan belakang terdapat relung tempat meletakkan arca. Relung-relung tersebut juga dilengkapi dengan bentuk 'atap' dan hiasan kalamakara di atas ambangnya. Tidak satupun arca yang masih bisa didapati di Candi Kidal. Konon arca Syiwa yang indah, yang saat ini tersimpan di museum Leiden, dahulu berasal dari Candi Kidal.
Dalam kesusastraan Jawa kuno, terdapat mitos yang terkenal di kalangan masrakyat, yaitu mitos Garudheya, seekor garuda yang berhasil membebaskan ibunya dari perbudakan dengan tebusan air suci amerta (air kehidupan). Konon relief mitos Garudheya dibuat untuk memenuhi amanat Anusapati yang ingin meruwat Ken Dedes, ibunda yang sangat dicintainya. Mitos Garudheya tertuang secara lengkap dalam relief di seputar kaki candi. Relief pertama menggambarkan seekor garuda menggendong 3 ekor ular besar, relief kedua melukiskan seekor garuda dengan kendi diatas kepalanya, dan relief ketiga garuda menggendong seorang wanita. Diantara ketiga relief tersebut, relief kedua adalah yang paling indah dan utuh.
Candi Kidal adalah bukti kejayaan kerajaan Singhasari, sekarang ini bukti kejayaan tersebut banyak dijadikan tempat pembelajaran buat kita tentang peradaban dimasa lampau khususnya Kerajaan Singhasari. Maka dari itu kita sebagai generasi muda sangat wajib dijaga dan dipelihara agar peninggalan Candi Hindu tersebut mampu bertahan sampai dimasa yang akan datang.

Alat Musik Tradisional Angklung



Alat Musik Tradisional Angklung - Jawa barat memiliki seni pertunjukan cukup banyak yang tumbuh dan berkembang tersebar di berbagai pelosok. Jenis-jenis pertunjukan tersebut meliputu seni karawitan, seni tari, dan seni drama. Tidak sedikit seni pertunjukan daerah tersebut yang berkembang pesat seiring dengan perkembangan masyarakat penduduknya sehingga dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat dan berbagai bangsa di Dunia. Salah  satu seni pertunjukan tanah priangan yang sudah terkenal adalah pertujukan Angklung.
Angklung adalah alat musik multitonal (bernada ganda) yang secara tradisional berkembang dalam masyarakat Sunda. Alat musik ini dibuat dari bambu, dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Sebagaimana dikemukakan oleh Atik Soepandi, angklung adalah waditrayang terbuat dari bambu dengan tabung suara sebagai resonator. Kita patut berbangka karena Angklung sudah terdaftar sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia dari UNESCO sejak November 2010.
Tidak mudah untuk mementukan sejak kapan seni pertunjukan angklung ada di daerah jawa barat, dari mana asalnya, dan siapa penciptanya, karena belum ada data yang akurat tentang hal ini. Namun jika dilihat dari sejarah perkembangan seni pertunjukan daerah Jawa Barat, ada kecendrungan angklung yang berkembang dewasa ini berasal dari Jawa barat, hasil dari kreativitas seniman daerah Jawa Barat di masa lampau.
Angklung merupakan salah satu jenis seni pertunjukan yang telah lama hidup di daerah Jawa Barat. Selama keberadaannya, angklung telah mengalami berbagai perkembangan, bai hubungan dengan musikalitas, fungsi, teknis pertunjukan maupun daerah penyebarannya. Perkembangan musikalitas artinya perubahan nilai-nilai musik karena adanya penyesuaian dengan kebutuhan masyarakat pemakaiannya. Perkambangan fungsi maksudnya perubahan-perubahan yang ada hubungannya dengan penggunaan angklung di masyarakat. Sebagai contoh dapat kita lihat pada awal  pertumbuhannya, aangklung hanya dipertunjukan sebagai sarana upacara penghormatan terhadap Dewi Sri, tetapi pada perkembangan selanjutnya juga sebagi seni tontonan atau hiburan. Yang dimaksud dengan perkembangan daerah adalah perluasan daerah penyebarannya, sekarang ini angklung tidak hanya dapat dijumpai di Jawa Barat saja, tapi di mana saja sudah ada bahkan sampai ke luar negri.
Perkembangan angkung yang tampak menonjol berawal dari adanya upaya Daeng Sutigna membuat angklung diatonis sekitar tahun 1938, beliaua dalah seorang guru di daerah Kuningan dan Cirebon. Beliau beranggapan bahwa angklung yang awalnya hanya dipakai untuk kegiatan pramuka dan kesenian lainnya dapat dipergunakan untuk menyajikan lagu-lagu diatonis yang cenderung banyak digemari oleh kalangan masa itu. Anggapan tersebut menjadi kenyataan, tahun 1946 Daeng Sutifna berhasil mempertunjukan hasil karyanya melalui pertunjukan  di Lingkar Jati, Kuningan.
Selama berkiprah di bidang Angklung, Daeng Sutigna mempunyai enam orang murid yaitu : Sanui, Hidayat Winitasasmita, Opan Sopandi Agam Ngadimin, Yahya Erawan, Dan Ujo Ngalagena. Orang-orang tersebut penerus setelah Daeng Sutigna yang melestarikan kebudayaan seni Angklung sampai sekarang ini. Bahkan Ujo Ngalagena spada tahun 1958 mendirikan Saung Angklung di daerah Padasuka Bandung. Meski pada awalnya Saung Angklung hanya sekedar tempat pembuatan angklung, namun setelah dikembangkan lagi Saung Angklung menjadi objek wisata budaya. Sekarang Saung Angklung semakin berkembang, tempat tersebut menjadi sebuah tempat pertunjukan-pertunjukan angklung dan tempat dimana jika kalian ingin belajar memainkan angklung sehingga  banyak dikunjungi wisatawan lokal maupun mancanegara.

Dengan berkembang penyebarannya angklung pun sekarang banyak jenis-jenisnya, sesuai dengan tempat penyebarannya, sebagai contoh adalah Angklung Kanekes dari aduy , anglung reyog dari Ponorogo, angklung banyuwangi, angklung bali dan masih banyak lagi jenis lainnya. Persamaan jenis angklung tersebut dari bahan bakunya yaitu bambu, yang membedakannya adalah nada yang menjadi kekhasan daerah berasal masing-masing. Namun diluar itu semua kita patut bangga karena Angklung adalah Alat Musiktradisional milik indonesia yang sudah diakui oleh dunia.

Istana Kesultanan Ternate



Istana Kesultanan Ternate - Jika kemarin kita membahas tentang kesultanan yang masih ada hingga sekarang di pulau Sumatera. Maka kita sekarang akan membahas tentang Kesultanan yang ada di bagian timur Indonesia.  Sama halnya dengan Kesultanan Deli, Kesultanan ini masih eksis hingga sekarang. nama Kesultanan itu adalah Kesultanan Ternate. Kesultanan ini berdiri pada abad ke 13 ini masih berkabung karena ditinggalkan oleh sang Raja Mudaffar Sjah yang wafat Februari lalu, Kesultanan ini merupakan salah satu dari empat Kerajaan Islam yang ada di Indonesia bagian timur, kesultanan ini tepatnya di Pulau Ternate, Maluku Utara.

Sama hal nya dengan Kesultanan Deli, Kesultanan ini juga masih memiliki sebuah istana megah sebagai bukti kemakmuran Kesultanan tersebut yang mampu bertanah sampai sekarang ini. Istana Kesultanan Ternate terletak di dataran pantai di kaki gunung Gamalama, tepatnya di Kampung Sao-Sio, Kelurahan letter C, Kodya Ternate, Provinsi Maluku utara. Letak Istana kesultanan Ini tidak jauh dari pusat Kota Ternate. Istana Kesultanan Ternate didirikan oleh Sultan ternante ke- 9 yaitu Sultan Hamzah.
Pada awalnya Istana Kesultanan Ternate hanya dijadikan sebagai pusat kendali politik atas wilayah-wilayah kesultanan. Namun setelah Kesultanan Ternate ikut dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tepatnya pada tanggal 7 Desember 1976, Istana Kesultanan Tenate berfungsi sebagai pusat pelestarian cagar budaya bekas Kesultanan Ternate yang diberikan kepada Pemerintah Direktorat Jendral Kebudayaan untuk dipugar, dipelihara, dan dilestarikan oleh para ahli waris Kesultanan Ternate di dipimpin oleh Sultan Muda Mudzafar Syah.
Sebagai bukti kejayaan Kesultanan Ternate di wujudkan dalam desain Istana Kesultanan ternate ini. Desain interior istana ini penuh dengan hiasan emas. Di ruang kamar bagian dalam terdapat peninggalan pakaian dan sulaman benang emas yang sangat mewah. Tidak hanya itu, peninggalan dari emas lainnya ada Kalung raksasa, mahkota, kelad bahu, kelad lengan, giwang, anting, cincing dan gelang semuanya terbuat dari emas murni. Disamping itu, istana megah ini juga menyimpan, merawat, dan memamerkan benda-benda pusaka milik Kesultanan, seperti senjata (senapan, meriam kecil, peluru bulat, tombak, parang, dan perisai), pakaian besi, pakaian kerajaan, topi-topi perang, dan naskah-naskah kuno seperti Al-qur’an, maklumat, dan surat-surat perjanjian.
Di istana ini juga dipagari oleh dinding dengantinggi lebih 3 meter, yang menyerupai benteng. Di lingkungan istana ini juga terdapat komplek pemukiman Sultan serta keluarganya, dan komplek makam para sultan-sultan terdahulu, komplok makam tersebut lebih tepatnya dekat dengan Masjid Agung Ternate.
Dengan semakin terawatnya cagar budaya Istana Kesultanan Ternate mampu bertahan hingga sekarang. Dengan adanya Istana Kesultanan tersebut menambah lagi pengetahuan kita akan adanya suatu peristiwa penting yang ada di Nusantara khususnya di Kepulauan Maluku.

Lompat Batu di Pulau Nias

Lompat Batu di Pulau Nias - Pulau Nias adalah salah satu pulau yang terletak di bagian barat Pulau Sumatera. Pulau ini memiliki luas 5.625M2 dan dihuni oleh 700.000 jiwa penduduk. Mayoritas penduduk di Pulau Nias adalah Suku Nias yang masih memiliki budaya megalitik (Budaya yang melibatkan batu-batu besar sebagai cirinya). Terbukti sampai sekarang di Pulau Nias masih mempunyai tradisi yang menunjukan seorang pemuda itu dianggap sudah dewasa dan matang secara fisik. Tradisi itu adalah Tradisi Lompat Batu atau orang Nias menyebutnya dengan Fahombo.
http://albantanipro.blogspot.co.id/2015/11/lompat-batu-di-pulau-nias.html
Seperti yang sudah dijelaskan tadi Fahombo atau Lompat Batu adalah sebuah tradisi yang dilakukan pemuda nias untuk menunjukan bahwa yang bersangkutan dianggap sudah dewasa dan matang secara fisik, anggapan tersebut jika sang pemuda mampu melompati batu yang disusun hingga mencapai ketinggian 2M dengan ketebalan 40 cm dengan sempurna maka itu artinya sang pemuda kelak akan menjadi pemuda pembela kampungnya jika ada konflik dengan warga desa lain.
Tradisi Lompat Batu sudah dilakukan sejak jaman para leluhur, dimana pada jaman dulu mereka sering berperng antar suku sehingga mereka melatih diri mereka agar kuar dan mampu menembus benteng lawan yang kono cukup tinggi untuk dilompati. Namun seiring dengan perkembangan jaman, tradisi ini turut berubah fungsinya. Karena di jaman sekarang mereka sudah tidak beperang lagi maka tradisi Lompat Batu ini hanya untuk ritual dan juga sebagai simbol budaya orang nias.
Ada upacara ritual khusus sebelum para pemuda melompatinya. Seseorang yang akan melakukan Lompat Batu harus terlebih dahulu meminta restu dan meniati roh-roh para pelompat batu yang sudah meninggal untuk meminta izin kepada arwah para leluhur yag sering melompati batu tersebut. Tujuannya untuk menghindari kecelakaan atau terjadi yang tak di inginkan ketika melompati batu tersebut. Sambil melomakai pakaian adat, mereka berlari dengan menginjak batu penompang kecil terlebih dahulu untuk dapat melewati bangunan batu yang tinggi tersebut.
Ada hal yang unik dari tradisi Lompat Jauh ini, konon meskipun sudah latihan secara keras tidak semua pemuda Nias bisa berhasil melewati gundukan batu bersusun tersebut, bahkan tak jarang mereka ada yang patah tulang karena tersangkut ketika mencoba melewati batu tersebut. Tapi ada juga pemuda nias yang hanya berlatih sekali dua kali tapi langsung mampu melewati batu tersebut. Menurut kepercayaan setempat faktor genetika juga bisa mempengaruhi keberhasilan seseorang untuk mampu melewati lompat Batu tersebut. Jika ayahnya atau kakeknya dahulu adalah seorang pelompat batu semasih muda, maka anak-anaknya pun pasti bisa melompati walau pun dengan latihan yang hanya beberapa kali. Bahkan ada yang mencoba sekali dua kali pemuda tersebut bisa melompati batu tersebut dengan sempurna.
Bagi keluarga sang pemuda yang baru pertama kali mampu melompati batu setinggi 2 meter tersebut, biasanya akan menyembelih beberapa ekor ternak mereka sebagai wujud syukuran atas keberhasilan anaknya. Namun ada satu halyang harus diketahui bahwa tradisi Lompat Batu ini tidak terdapat di seluruh wilayah nias, tradisi ini hanya terdapat di kampung-kampung tertentu saja seperti di wilayah Teluk Dalam.

http://albantanipro.blogspot.co.id/2015/11/lompat-batu-di-pulau-nias.html
Karena keunikannya, pada tahun 1992 Bank Indonesia mengeluarkan uang lembaran 1000 an yang menggambarkan Lompat Batu atau Fahombo suku nias. Dengan begitu Lompat batu ini makin terkenal dipenjuru negeri bahkan dunia. Dan menambah lagi kekayaan-kekayaan Tradisi yang ada di Indonesia.

 Tags : #Suku Nias #Pulau Nias #Tradisi Nias #Fahombo #Lompat Batu di Nias

Legenda di Balik Pagoda 9 Lantai




Legenda di Balik Pagoda 9 Lantai - Pagoda 9 lantai adalah sebuah pagoda di Klenteng Hok Tjing Rio atau lebih dikenal Klenteng Kuan Im yang terletak di Kota Palembang, atau yang lebih tepa di Pulau Kemaro. Pagoda berlantai 9 yang menjulang di tengah-tengah pulau ini dibangun tahun 2006. Namun, dibalik keindahan Pagoda 9 lantai tersebut, ada hal yang lebih menarik lainnya, yaitu tentang cerita dibalik terbentuknya Pulau Kemaro. Pulau Kemaro adalah sebuah pulau yang terletak di Sungai Musi, Sungai yang membelah Kota Palembang. Menurut cerita, pulau tersebut adalah penjelmaan Siti Patimah Putri Raja Sriwijaya yang menceburkan diri ke sungai Musi. Dan ini lah cerita selengkapnya.

Dikisahkan pada zaman dulu di Sumatera Selatan terdapat sebuah Kerajaan, Kerajaan itu adalah Kerajaan Sriwijaya. Raja Kerajaan tersebut memiliki sebuah putri yang sangat cantik bernama Siti Fatimah. Selain cantik, ia juga berhati baik, sopan santun, dan tutur bahasanya sangat lembut mencerminkan sifat seorang putri Raja. Kecantikan dan keelokan perangkainya mengundang decak kagum para pemuda di negri Palembang. Namun tak seorang pun pemuda yang berani untuk meminangnya, karena kedua orang tuanya menginginkan ia menikah dengan seorang raja yang kaya raya.
Namun pada suatu hari, datanglah sebuah kapal besar dari negeri Cina, bersama dengan rombongan yang dipimpin seorang pangeran bernama Tam BUn An.
“Hmmm… Haiya…. Ini ternyata kerajaan Sriwijaya yang terkenal itu. Kotanya memang megah, penduduknya ramah-ramah dan makanan pempeknya enak sekali, ya. Haiya….” Kata sang pangeran.
“Pangeran Tam Bun An mau langsung menemui puteri Siti Fatimah?” Tanya sang nahkoda kapal.
“Iyalah. Aku kan jauh-jauh ke Bhumi Sriwijaya ini karena tertarik kecantikan sang puteri Siti Fatimah, haruslah aku datang menemuinya sesegera mungkin.” Kata pangeran Tam Bun An.
“Ayo, pengawal. Kita langsung ke istana untuk menemui puteri raja. Siapkan barongsai dan musik perkusi yang meriah untuk menarik hatinya.” Kata sang nahkoda kapal.
Lalu rombongan pangeran dari Cina ini masuk ke kota Sriwijaya dengan meriah, di depan ada barongsai singa dengan dua orang pembawa pangeran Tam Bun An dan sang nahkoda. Di belakangnya ada 10 orang pengawal dengan barongsai naganya. Kemudian yang terakhir adalah rombongan 10 orang membawa  serta menabuh gendang dan perkusi lainnya. Rombongan barongsai ini memainkan musik dan atraksinya tepat di depan istana raja Sriwijaya dan keramaian itu membuat puteri Siti Fatimah tertarik melihatnya.
“Dayang, ada apa gerangan di luar sana? Seperti ada keramaian dan musik yang menarik?” Kata sang puteri.
“Sepertinya ada rombongan penari barongsai tuan puteri. Kabarnya sudah dua hari mereka berlabuh di dermaga dipimpin oleh pangeran tampan dari Cina.” Kata si dayang.
“Oh, aku ingin sekali melihat atraksi mereka dayang. Mari kita ke pintu gerbang!” Dan puteri Siti Fatimah bersama dayang serta beberapa pengawal menonton pertunjukan barongsai itu sambil bertepuk tangan senang sekali.
“Wah, tarian dan gerakan silat serta musik kalian begitu indah sekali, dari manakah gerangan tuan?” Tanya sang puteri.
“Haiya..Saya Tam Bun An dari negeri Cina, ingin sekali bertemu dengan puteri Siti Fatimah yang cantik jelita. Segala musik dan gerak tari serta gerakan kung-fu yang tadi kami peragakan, semuanya untuk dipersembahkan pada sang puteri jelita…Haiya..”
“Oh, terima kasih pangeran tampan. Kalau boleh saya tahu apakah maksud kedatangan pangeran ke mari ?” Tanya sang puteri dengan pipi merona merah.
“Haiya….Saya datang kemari hanya untuk satu tujuan menemui sang puteri Siti Fatimah yang kabarnya seperti bidadari. Ternyata kabar itu benar sekali, saya malahan seperti melihat 7 bidadari dari kahyangan. Haiya…” Sang pangeran merayu, membuat puteri tambah malu-malu. Begitu banyak pangeran di nusantara yang menyatakan rasa suka, namun baru sekali ini hati puteri Siti Fatimah menjadi bergelora oleh rasa cinta.
Seperti sudah ada perasaan kenal lama, keduanya pun saling suka dan dalam 3 kali pertemuan bertekad menyatukan cinta. Lalu ada bangsawan istana yang pernah ditolak cintanya oleh Siti Fatimah iri hati dan memberitahukan ke raja tentang hal ini. Dia mengatakan bahwa sang pangeran mau membawa puteri pergi ke negeri Cina.
“Cepat panggil pangeran Cina itu menghadapku!” Kata Raja Bhumi Sriwijaya.
“Hamba menghadap raja.” Kata sang pangeran Cina.
“Apa benar kau dan puteriku Siti Fatimah saling mencinta?”
“Benar raja. Hamba benar-benar mencintai puteri raja yang gagah perkasa.”
“Anak muda, adat istiadat kita berbeda dan beta tidak bersedia anakku kau bawa ke negeri Cina!” Kata sang Raja.
“Haiya…Saya sudah belajar adat istiadat sini raja dan saya bersedia tinggal dan bekerja dagang di Bhumi Sriwijaya duhai raja.” Sang pangeran Cina menyanggupi.
“Kalau begitu duduk perkaranya. Baiklah, kau boleh menjadi menantuku dengan syarat, kau memberikan uang mahar sejumlah 9 guci besar berisi emas untuk meminang puteriku.” Kata sang raja.
“Baiklah raja, permintaan raja akan saya sampaikan.”
Lalu pangeran membuat surat yang dititipkan ke merpati pos yang terbang sampai ke istana orang tuanya di negeri Cina.
Ayahanda sang pangeran mengirim surat balik dan menyatakan menyanggupinya. Lalu bangsawan Cina itu mengirimkan 9 buah guci berisi emas batangan. Akan  tetapi supaya jangan diincar oleh penjahat bajak laut, maka ayah si pangeran memerintahkan, “Masukkan sayur-mayur di bagian paling atas guci-guci itu, supaya para bajak laut tidak tertarik merampok dan menguasai kapal kita”.
“Perintah dilaksanakan tuan!” Kata si pelayan bangsawan Cina.
Dan 2 bulan kemudian, sampailah kapal beserta 9 guci itu ke Bhumi Sriwijaya. Pangeran dengan bahagia menyampaikan kabar itu pada puteri Siti Fatimah dan ayahandanya.
“Haiya…Sembilan guci kiriman ayahanda sudah datang tuanku Raja. Mari kita ke kapal untuk melihatnya.”
“Mari para pengawal dan puteriku. Kita pergi ke dermaga.” Kata sang raja.
“Haiya…Itu guci ada 9 dan besar-besar sekali. Itu persembahan dari papa dan mama saya tuanku raja..” Si pangeran Tam Bun An pun tertawa senang.
Tetapi saat dia membuka ke 9 guci tersebut, dia melihat isinya hanya sayur-sayuran yang sudah membusuk.
“Ha? Kenapa papa dan mama tega berbuat seperti ini? Papa dan mama berjanji kirimkan 9 guci berisi emas untuk meminang kekasihku Siti Fatimah? Tetapi kenapa dikirimkan sayur-sayuran dalam guci-guci ini? Maaf, saya malu tuanku raja. Biarlah saya buang guci-guci ini ke Sungai Musi. Papa dan mama jahat sekali dengan aku anaknya”
“Sudahlah, kakanda. Janganlah berburuk sangka dengan ayahanda di Cina sana. Mungkin saja ada orang lain yang jahat menukar isinya dengan sayur-sayuran. Jangan marah dengan orang tua kakanda.” Kata sang puteri menyabarkannya.
“Tidak bisa! Ini benar-benar kelewatan. Saya benci pada papa dan mama saya. Saya buang saja guci-guci bersayur busuk itu!” Sang pangeran pun melempar guci-guci yang berat itu ke sungai.
Satu! Dua! Tiga! 4,5,6,7,8…….Dan Saat guci ke-9 dia angkat, pangeran Tam Bun An sudah kecapaian. Lalu guci terlepas dan pecah di lantai kapal.
“Olala…..Tampaklah diantara pecahan guci itu emas batangan yang berkilauan.
“Ha? Emas batangan?”
“Iya, kakanda, ternyata benar papa dan mama kakanda mengirimkan emas-emas batangan di guci-guci lainnya juga. Sayur-sayuran tadi hanya untuk mengelabui saja kakanda.” Kata puteri Siti Fatimah.
“Ya, sudahlah pangeran. Saya percaya akan niat baik orang tuamu. Biarlah saja guci-guci yang sudah jatuh ke Sungai Musi itu. Tanpa itu semua kau masih kuijinkan menikahi puteriku.” Kata Raja.
“Tidak tuanku Raja. Saya menyesal telah berburuk sangka dengan papa dan mama di Cina. Saya telah durhaka memarahi mereka. Biarlah saya mengambil kembali semua emas-emas yang saya buang ke sungai itu. Tunggu aku adinda.”
Melihat hal itu, Siti Fatimah segera berlari ke pinggir kapal hendak melihat keadaan calon suaminya. Dengan perasaan cemas, ia menunggu calon suaminya tu muncul ke permukaan air sungai. Kerana calon suaminya tak kunjung muncul ke permukaan, akhirnya Siti Fatimah dan dayangnya yang setika ikut mencebur ke sungai untuk mencari pangeran dari negri cina itu. Namun sebelum mencebur ke sungai, Ia berpesan kepada semua orang yang ada dikapal itu.
“jika ada tumpukan tanah di sungai ini, maka itu adalah kuburan saya” demikian pesan Siti Patimah.
Beberapa hari setelah peristiwa tersebut, muncul lah sebuah tumpukan tanah di tepi sungai Musi. Lama-lama tumbukan itu menjadi sebuah pulau. Masyarakat menyebutnya dengan Pulau Kemaro. Pulau Kemaro dalam bahasa indonesia mengandung arti Pulau Kemarau. Dinamakan demikian, karena pulau tersebut tidak pernah digenangi air walaupun volume air di Sungai Musi sedang meningkat.
Kini, Pulau Kemaro telah menjadi objek wisata menarik, banyak wisatawan yang berkunjung ke pulau tersebut. Bukan hanya ingin mengetahui Legenda munculnya pulau tersebut, tapi juga dipulau tersebut terdapat sebuah klenteng Hok Tjing Rio yang menjadi tempat bersembahyang dan berziarah. Biasanya pada perayaan Cap Go Meh ribuan masyarakat cina selalu memadati Pulau Kemaro ini. Klenteng Hok Tjing Rio atau lebih dikenal Klenteng Kuan Im dibangun sejak tahun 1962. Di depan klenteng terdapat makam Tan Bun An (Pangeran) dan Siti Fatimah (Putri) yang berdampingan. Kisah cinta mereka berdualah yang menjadi legenda terbentuknya pulau ini.

Masjid Sultan Suriansyah Bajarmasin



Masjid Sultan Suriansyah Bajarmasin - Masjid Sultan Suriansyah atau Masjid Kuin adalah sebuah masjid bersejarah di Kota Banjarmasin yang merupakan masjid tertua di Kalimantan selatan. Masjid ini dibangun pada masa pemerintahan Sultan Suriansyah, Raja Banjar pertama yang memeluk agama islam. Menurut cerita beliau di islamkan oleh seorang penghulu dari demak dan seseorang dari arab. Masjid Kuin merupakan salah satu dari tiga masjid tertua yang ada di Kota Banjarmasin pada masa Mufti Jamaludin (Mufti Banjarmasin), masjid lainnya adalah masjid Besar (cikal bakal Masjid Jami Banjarmasin) dan masjid Basirih.

Masjid Sultan Suriansyah terletak dikelurahan Kuin Utara, kawasan yang dikenal sebagai Banjar Lama merupakan situs ibukota Kesultanan Banjar yang pertama kali. Masjid ini letakna berdekatan dengan komplek Makam Sultan Suriansyah dan ditepi kiri sungai Kuin. Masjid yang didirikan di tepi sungai Kuin ini memiliki bentuk arsitektur tradisional Banjar, dengan kontruksi panggung dan beratap tumpang.
Pola ruang pada Masjid Sultan Suriansyah merupakan pola ruang dari arsitektur Masjid Agung Demak yang dibawa bersamaan dengan masuknya agama Islam ke daerah ini oleh Khatib Dayan. Arsitektur mesjid Agung Demak sendiri dipengaruhi oleh arsitektur Jawa Kuno pada masa kerajaan Hindu. Identifikasi pengaruh arsitektur tersebut tampil pada tiga aspek pokok dari arsitektur Jawa Hindu yang dipenuhi oleh masjid tersebut.
Tiga aspek tersebut : atap meru, ruang keramat (cella) dan tiang guru yang melingkupi ruang cella. Meru merupakan ciri khas atap bangunan suci di Jawa dan Bali. Bentuk atap yang bertingkat dan mengecil ke atas merupakan lambang vertikalitas dan orientasi kekuasaan ke atas. Bangunan yang dianggap paling suci dan dan penting memiliki tingkat atap paling banyak dan paling tinggi. Ciri atap meru tampak pada Masjid Sultan Suriansyah yang memiliki atap bertingkat sebagai bangunan terpenting di daerah tersebut.
Bentuk atap yang besar dan dominan, memberikan kesan ruang dibawahnya merupakan ruang suci (keramat) yang biasa disebut cella. Tiang guru adalah tiang-tiang yang melingkupi ruang cella (ruang keramat). Ruang cella yang dilingkupi tiang-tiang guru terdapat di depan ruang mihrab, yang berarti secara kosmologi cella lebih penting dari mihrab.
Dominasi warna hijau dan berbagai ukiran tradisional menghiasi bangunan hingga tampil artistik. Ada hal yang cukup menonjol, yaitu penggunan geometri Islami dalam bentuk ‘Islamic Pattern’ berupa ‘taprat’. Tampilan khas dari ‘taprat’ yang banyak digunakan sebagai simbol pada berbagai benda Islami di seluruh dunia adalah dua buah segi empat yang bertumpang tindih ter-rotasi sebesar 45 derajat. Bentuk geometri ini selalu diulang-ulang baik sebagai pembatas (border), karawang dinding, pintu atau jendela, pola lantai, pola plafond dan lain-lain. Hal-hal semacam itu teraktualisasi secara integral dalam tampilan arsitektur Masjid Sultan Suriansyah Banjarmasin.
Dengan adanya Masjid Sultan Suriansyah ini membuktikan bahwa banyaknya Masjid Bersejarah yang ada di Indonesia. Masjid-masjid ini menjadi saksi bisu tentang adanya suatu peristiwa penting yang pernah terjadi di masa lalu.

Pakaian Khas Sunda



Pakaian Khas Sunda - Mungkin Sebagian dari kalian yang ada di di Jawa Barat sudah mengenal dengan yang namanya Rebo Nyunda. Rebo Nyunda yang artinya Rabu Sunda adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh seluruh Siswa-siswi dan para Pegawai Negri Sipil diharuskan memakai pakaian khas Sunda. Nama pakaian khas sunda itu yaitu Pangsi Sunda untuk laki-laki, dan Kabaya serta batik bawahannya untuk perempuan.
Ridwan Kamil Memakai Pangsi

Pada awalnya Rebo Nyunda hanya dilaksanakan di Kota Bandung, karena orang yang pertama kali menggagas program Rebo Nyunda adalah Wali Kota Bandung yaitu Ridwan Kamil. Rebo Nyuda telah ditetapkan sesuai Peraturan Daerah (Perda) No. 2 Tahun 2012 Pasal 10 ayat 1b tentang Penggunaan dan Pelestarian Bahasa, Sastra, dan Aksara Sunda. Program Rebo Nyunda ini mulai diberlakukan di Kota Bandung pada tanggal 6 Noverber 2013. Dengan tujuan untuk mengembalikan dan melestarikan budaya sunda, sekarang ini banyak kota dan kabupaten lainnya yang menerapkan Rebo Nyunda, diantaranya Kabupaten Garut, Kota Bogor, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten/ Kota di Jawa Barat lainnya.
Kali ini kita akan mambahas tentang pakaian khas Sunda yang sering dipakain di Rebo Nyunda untuk para Pria. Pakaian khas sunda itu adalah Pangsi Sunda. Pangsi adalah salah satu pakaian khas sunda warisan nenek moyang para leluhur yang patut untuk dilestarikan. Pangsi sendiri yaitu pakaian hitam-hitam yang ukurannya lebar yang bahan dasarnya dari bahan katun. Pangsi bukan sekedar pakaian penutup tubuh saja, pangsi memiliki Filosofi terkait dengan kehidupan masyarakat tempo dulu. Mesti tak ada dokumen langsung terkait dengan Filosofi Pangsi sunda ini, namun pangsi memiliki makna yang terkandung tidak bertentangan dengan adat, budaya, dan agama di indonesia yang menjelaskan  bahwa setiap bentuk dan jahitan mengandung makna yang dapat dijadikan pengingat para pemakainya agar selalu intropeksi diri.
Pangsi merupakan singkatan dari Pangeusi “Numpang ka sisi” yakni pakaian penutup badan yang acara pemakaiannya dibelitkan dengan cara menumpang seperti memakai sarung. Sebenarnya pangsi sendiri adalah nama dari ceralananya saja, nama bajunya adalah salontreng. Namun sekarang ini banyak orang yang menyebutkan jika pangsi adalah untuk keduanya yaitu baju dan celana.
Pangsi termasuk pakaian serbaguna, pada zaman dulu Pangsi sering digunakan oleh petani, seniman, dan bahkan pejabat dalam merayakan adat. Banyak orang yang menyebut kalau Pangsi adalah baju koko atau komprang karena warnanya hitam padahal sebenarnya desainnya sangat berbeda. Kini model Pangsi sedikit dimodifikasi namun tanpa menghilangkan arti dan filosofi Pangsi itu sendiri. Modifikasi tersebut pada bagian bawah kerah pakaiannya. Jika zaman dulu pangsi hanya identik dengan warna hitam semua, sekarang pangsi yang sudah dimodifikasi pada bagian depannya, yaitu pada bagian bawah kerah dan pada pergelangan tangan. Pangsi sering dipadu padankan dengan kain bermotif, seperti batik. Biasanya kain ini sering senada dengan ikat kepala yang akan digunakan juga.

Program Rebo Nyunda adalah suatu cara yang bagus untuk lebih melestarikan kebudayaan sunda yang sudah banyak ditinggalkan, semoga program ini dapat di ikuti lagi oleh Kabupaten/ Kota lainnya di Jawa Barat agar kita bisa ikut serta melestarikan Pakaian Adat khas sunda ini.

Legenda Sarang Burung Walet Karang Bolong



Legenda Sarang Burung Walet Karang Bolong - Apakah kalian kenal tentang Kabupaten kebumen?? Pasti kenal dong. Kabupaten yang tertelah di Provinsi Jawa tengah ini memiliki banyak sekali Budaya dan pariwisata ini patut untuk kenali. Salah satu tenpat wisata terkenal di Kabupaten Kebumen adalah Pantai Karang Bolong. Pantai ini berkontur landai, memiliki pasir utih yang luas yang dibatasi oleh perbukitan batuan sedimenklastik yang berasal dari gunung api. Di pantai ini juga terdapat sebuah Gua yang bernama Gua Karang Bolong yang menjadi sarang Burung Walet.  Dibalik keindahan Pantai dan gua tersebut, Pantai Karang bolong menyimpan sebuah legenda yang menjadi sebuah cerita rakyat di Jawa tengah hingga sampai sekarang. Dan ini lah Legenda itu selengkapnya.
 
Beberapa abad yang lalu tersebutlah Kesultanan Kartasura. Kesultanan sedang dilanda kesedihan yang mendalam karena permaisuri tercinta sedang sakit keras.
Pangeran sudah berkali-kali memanggil tabib untuk mengobati sang permaisuri, tapi tak satupun yang dapat mengobati penyakitnya. Sehingga hari demi hari, tubuh sang permaisuri menjadi kurus kering seperti tulang terbalutkan kulit.

Kecemasan melanda rakyat kesultanan Kartasura. Roda pemerintahan menjadi tidak berjalan sebagaimana mestinya. "Hamba sarankan agar Tuanku mencari tempat yang sepi untuk memohon kepada Sang Maha Agung agar mendapat petunjuk guna kesembuhan permaisuri," kata penasehat istana.

Tidak berapa lama, Pangeran Kartasura melaksanakan tapanya. Godaan-godaan yang dialaminya dapat dilaluinya. Hingga pada suatu malam terdengar suara gaib.
"Hentikanlah semedimu. Ambillah bunga karang di Pantai Selatan, dengan bunga karang itulah, permaisuri akan sembuh." 
Kemudian, Pangeran Kartasura segera pulang ke istana dan menanyakan hal suara gaib tersebut pada penasehatnya.
"Pantai selatan itu sangat luas. Namun hamba yakin tempat yang dimaksud suara gaib itu adalah wilayah Karang Bolong, di sana banyak terdapat gua karang yang di dalamnya tumbuh bunga karang," kata penasehat istana dengan yakin.

Keesokannya, Pangeran Kartasura menugaskan Adipati Surti untuk mengambil bunga karang tersebut. Adipati Surti memilih dua orang pengiring setianya yang bernama Sanglar dan Sanglur. Setelah beberapa hari berjalan, akhirnya mereka tiba di karang bolong. Di dalamnya terdapat sebuah gua. Adipati Surti segera melakukan tapanya di dalam gua tersebut. Setelah beberapa hari, Adipati Surti mendengar suara seseorang.
"Hentikan semedimu. Aku akan mengabulkan permintaanmu, tapi harus kau penuhi dahulu persyaratanku."
Adipati Surti membuka matanya, dan melihat seorang gadis cantik seperti Dewi dari kahyangan di hadapannya. Sang gadis cantik tersebut bernama Suryawati. Ia adalah abdi Nyi Loro Kidul yang menguasai Laut Selatan.
Syarat yang diajukan Suryawati, Adipati harus bersedia menetap di Pantai Selatan bersama Suryawati.

Setelah lama berpikir, Adipati Surti menyanggupi syarat Suryawati. Tak lama setelah itu, Suryawati mengulurkan tangannya, mengajak Adipati Surti untuk menunjukkan tempat bunga karang. Ketika menerima uluran tangan Suryawati, Adipati Surti merasa raga halusnya saja yang terbang mengikuti Suryawati, sedang raga kasarnya tetap pada posisinya bersemedi.
"Itulah bunga karang yang dapat menyembuhkan Permaisuri," kata Suryawati seraya menunjuk pada sarang burung walet.
Jika diolah, akan menjadi ramuan yang luar biasa khasiatnya. Adipati Surti segera mengambil sarang burung walet cukup banyak. Setelah itu, ia kembali ke tempat bersemedi. Raga halusnya kembali masuk ke raga kasarnya.

Setelah mendapatkan bunga karang, Adipati Surti mengajak kedua pengiringnya kembali ke Kartasura. Pangeran Kartasura sangat gembira atas keberhasilan Adipati Surti.
"Cepat buatkan ramuan obatnya," perintah Pangeran Kartasura pada pada abdinya. Ternyata, setelah beberapa hari meminum ramuan sarang burung walet, Permaisuri menjadi sehat dan segar seperti sedia kala. Suasana Kesultanan Kartasura menjadi ceria kembali. Di tengah kegembiraan tersebut, Adipati Surti teringat janjinya pada Suryawati. Ia tidak mau mengingkari janji. Ia pun mohon diri pada Pangeran Kartasura dengan alasan untuk menjaga dan mendiami karang bolong yang di dalamnya banyak sarang burung walet. Kepergian Adipati Surti diiringi isak tangis para abdi istana, karena Adipati Surti adalah seorang yang baik dan rendah hati.
Adipati Surti mengajak kedua pengiringnya untuk pergi bersamanya. Setelah berpikir beberapa saat, Sanglar dan Sanglur memutuskan untuk ikut bersama Adipati Surti.
Setibanya di Karang Bolong, mereka membuat sebuah rumah sederhana. Setelah selesai, Adipati Surti bersemedi. Tidak berapa lama, ia memisahkan raga halus dari raga kasarnya.
"Aku kembali untuk memenuhi janjiku," kata Adipati Surti, setelah melihat Suryawati berada di hadapannya.

Kemudian, Adipati Surti dan Suryawati melangsungkan pernikahan mereka. Mereka hidup bahagia di Karang Bolong. Di sana mereka mendapatkan penghasilan yang tinggi dari hasil sarang burung walet yang semakin hari semakin banyak dicari orang.

Demikian lah Legenda Sarang Burung Walet Karang Bolong di Kabupaten Kebumen. Sekarang ini burung walet menjadi pendapatan terbesar bagi sebagian masyarakat Kebumen. Sehingga burung Walet pun menjadi ikon tersendiri dan primadona bagi Kabupaten Kebumen. Semoga legenda ini menjadi pembelajaran baru bagi pembaca untuk mengenal legenda-legenda yang ada di Indonesia.

Rumah Adat Suku Asmat



Rumah Adat Suku Asmat - Jika kita mendengar suku yang terbesar di tanah Papua kalian pasti akan mengingat dengan Suku Asmat. Sedikit mengingatkan kalau SukuAsmat adalah nama dari sebuah suku terbesar dan paling terkenal di antara sekian banyak suku yang ada di Papua, Irian Jaya, Indonesia. Salah satu hal yang membuat suku asmat cukup dikenal adalah hasil ukiran kayu tradisional yang sangat khas. Tapi bukan hanya ukiran kayu saja yang menarik dari Suku Asmat ini, tapi banyak sekali kebudayaan-kebudayaan yang sangat unik dan menarik untuk dibahas salah satunya rumah adatnya.

Mungkin sebagian orang mengenal rumah adat Suku Asmat adalah rumah Honai, ternyata rumah adat Suku Asmat adalah Rumah adat yang bernama Jew (Rumah Bujang). Rumah Honai sendiri sebenarnya rumah adat Suku Dani yang dijadikan rumah adat Papua. Rumah Jew memang memiliki posisi yang istimewa dalam struktur  suku Asmat. Dirumah bujang ini dibicarakan segala urusan yang menyangkut kehidupan warga, mulai dari perencanaan perang, keputusan yang menyangkut desa mereka, melakukan pekerjaan membuat noken (tas tradisional Suku Asmat), mengukir kayu, dan juga tempat tinggal para bujang. Oleh karena itu, rumah Jew juga disebut sebagai Rumah Bujang. Jew adalah tempat yang dianggap sakral bagi suku Asmat.
Rumah adat suku Asmat terbuat dari kayu dan selalu didirikan menghadap ke arah sungai. Panjang rumah suku Asmat ini bisa mencapai berpuluh-puluh meter, bahkan ada yang sampai 50 meter dengan lebar belasan meter. Rumah adat merupakan bangunan yang cukup panjang untuk bangunan kayu, namun berdirnya bangunan sepanjang itu, merupakan gambaran adanya persatuan, dan nilai kegotong-royongan yang dimiliki oleh masyarakat Asmat.
Sebagai tiang penyangga utama rumah adat ini mereka menggunakan kayu besi yang kemudian di ukir dengan seni ukir suku Asmat. Sebagai pengikat sambunagn kayu mereka menggunakan tali rotan. Bagian atas rumah suku Asmat ini terbuat dari daun sagu atau daun nipah yang telah dianyam. Biasanya warga penduduk beramai-ramai  menganyamnya hingga selesai. Dan bagian tangganya terbuat dari rangakain kayu bulat yang panjangnya sama dengan ukuran rumah.
Selain untuk membicarakan segala urusan, didalam rumah adat suku Asmat ini juga tersimpan Noken persenjataan suku Asmat, seperti tombak, panah untuk berburu, dan noken yang telah dibuat tadi. Tidak sembarang orang boleh menyentuh noken yang tersimpan di dalam rumah adat suku Asmat. Noken ini dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Ada yang menarik, bahwa wanita tidak boleh ada di dalam rumah Jew, wanita hanya datang membawa hasil alam yang mereka peroleh sepanjang hari, misalnya sagu, ulat sagu, kelapa ikan dan lain-lain.
Jumlah pintu Jew sama dengan jumlah tungku api dan patung Bisj. Patung Bisj mencerminkan gambaan leluhurr dari masing-masing rumpun suku Asmat. Mereka percaya patung-patung ini menjaga rumah mereka dari pengaruh jahat. Jumlah pintu ini juga di anggap mencerminkan jumlah rumpun suku Amat yang berdiam di sekitar Rumah Adat Suku Asmat tersebut.